Minggu, 01 Februari 2009

Kinerja Guru dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya

Kinerja merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, work performance atau job performance tetapi dalam bahasa Inggrisnya sering disingkat menjadi performance saja. Kinerja dalam bahasa Indonesia disebut juga prestasi kerja. Kinerja atau prestasi kerja (performance) diartikan sebagai ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap, ketrampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu. Masalah kinerja selalu mendapat perhatian dalam manajemen karena sangat berkaitan dengan produktivitas lembaga atau organisasi. “performance = Ability x motivation”. Dan faktor-faktor utama yang mempengaruhi kinerja adalah kemampuan dan kemauan. Memang diakui bahwa banyak orang mampu tetapi tidak mau sehingga tetap tidak menghasilkan kinerja. Demikian pula halnya banyak orang mau tetapi tidak mampu juga tetap tidak menghasilkan kinerja apa-apa. Kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan atau kemampuan bekerja, dengan kata lain bahwa kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kerja. Penilaian kinerja menurut Hendri Simamora adalah alat yang berfaedah tidak hanya untuk mengevaluasi kerja dari para karyawan, tetapi juga untuk mengembangkan dan memotivasi kalangan karyawan.[1] Sejalan dengan pendapat tersebut Hasibuan mengemukakan bahwa penilaian prestasi adalah kegiatan manajer untuk mengevaluasi perilaku prestasi kerja karyawan serta menetapkan kebijaksanaan selanjutnya.[2] Dalam penilaian kinerja tidak hanya semata-mata menilai hasil fisik, tetapi pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan yang menyangkut berbagai bidang seperti kemampuan, kerajinan, disiplin, hubungan kerja atau hal-hal khusus sesuai bidang tugasnya semuanya layak untuk dinilai.

Prestasi kerja merupakan gabungan dari tiga faktor penting yaitu, kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi tugas, serta peran dan tingkat motivasi seorang pekerja. Semakin tinggi ketiga faktor di atas, semakin besarlah prestasi kerja karyawan bersangkutan.

Dari pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila seorang pegawai telah memiliki kemampuan dalam penguasaan bidang pekerjaannya, mempunyai minat untuk melakukan pekerjaan tersebut, adanya kejelasan peran dan motivasi pekerjaan yang baik, maka orang tersebut memiliki landasan yang kuat untuk berprestasi lebih baik.

Ukuran kinerja secara umum yang kemudian diterjemahkan ke dalam penilaian prilaku secara mendasar meliputi: (1) kualitas kerja; (2) kuantitas kerja; (3) pengetahuan tentang pekerjaan; (4) pendapat atau pernyataan yang disampaikan; (5) keputusan yang diambil; (6) perencanaan kerja; (7) daerah organisasi kerja.[3]

Jika kinerja adalah kuantitas dan kualitas pekerjaan yang diselesaikan oleh individu, maka kinerja merupakan output pelaksanaan tugas. Kinerja mempunyai hubungan yang erat dengan masalah produktivitas, karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi.

Hasibuan menyatakan bahwa produktivitas adalah perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (inpuFaktor-faktor yang mempengaruhi kinerja menurut Sedarmayanti (2001) antara lain: (1) sikap mental (motivasi kerja, disiplin kerja, etika kerja); (2) pendidikan; (3) ketrampilan; (4) manajemen kepemimpinan; (5) tingkat penghasilan; (6)gaji dan kesehatan; (7) jaminan sosial; (8) iklim kerja; (9)sarana pra sarana; (10) teknologi; (11) kesempatan berprestasi.[4]

Bertolak dari pendapat para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kinerja guru atau prestasi kerja (perforamce) adalah hasil yang dicapai oleh guru dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu dengan output yang dihasilkan tercermin baik

Dalam perspektif manajemen, agar kinerja guru dapat selalu ditingkatkan dan mencapai standar tertentu, maka dibutuhkan suatu manajemen kinerja (performance management). Tapi perlu definisi khusus tentang kinerja itu sendiri. Dengan mengacu pada pemikiran Robert Bacal dalam bukunya Performance Management di bawah ini akan dibicarakan tentang manajemen kinerja guru. Robert Bacal mengemukakan bahwa manajemen kinerja, sebagai sebuah proses komunikasi yang berkesinambungan dan dilakukan dalam kemitraan antara seorang karyawan dan penyelia langsungnya.[5] Proses ini meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan. Ini merupakan sebuah sistem. Artinya, ia memiliki sejumlah bagian yang semuanya harus diikut sertakan, kalau sistem manajemen kinerja ini hendak memberikan nilai tambah bagi organisasi, manajer dan karyawan. Dari ungkapan di atas, maka manajemen kinerja guru terutama berkaitan erat dengan tugas kepala madrasah untuk selalu melakukan komunikasi yang berkesinambungan, melalui jalinan kemitraan dengan seluruh guru di sekolahnya.

Dalam mengembangkan manajemen kinerja guru, didalamnya harus dapat membangun harapan yang jelas serta pemahaman tentang Fungsi kerja esensial yang diharapkan dari para guru:

1. Seberapa besar kontribusi pekerjaan guru bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah.melakukan pekerjaan dengan baik”

2. Bagaimana guru dan kepala madrasah bekerja sama untuk mempertahankan, memperbaiki, maupun mengembangkan kinerja guru yang sudah ada sekarang.

3. Bagaimana prestasi kerja akan diukur.

4. Mengenali berbagai hambatan kinerja dan berupaya menyingkirkannya.[6]



Selanjutnya, Robert Bacal mengemukakan pula bahwa dalam manajemen kinerja diantaranya meliputi perencanaan kinerja, komunikasi kinerja yang berkesinambungan dan evaluasi kinerja.Perencanaan kinerja merupakan suatu proses di mana guru dan kepala madrasah bekerja sama merencanakan apa yang harus dikerjakan guru pada tahun mendatang, menentukan bagaimana kinerja harus diukur, mengenali dan merencanakan cara mengatasi kendala, serta mencapai pemahaman bersama tentang pekerjaan itu.

Komunikasi yang berkesinambungan merupakan proses di mana kepala madrasah dan guru bekerja sama untuk saling berbagi informasi mengenai perkembangan kerja, hambatan dan permasalahan yang mungkin timbul, solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah, dan bagaimana kepala madrasah dapat membantu guru. Arti pentingnya terletak pada kemampuannya mengidentifikasi dan menanggulangi kesulitan atau persoalan sebelum itu menjadi besar.
Evaluasi kinerja adalah salah satu bagian dari manajemen kinerja, yang merupakan proses di mana kinerja perseorangan dinilai dan dievaluasi. Ini dipakai untuk menjawab pertanyaan, “ Seberapa baikkah kinerja seorang guru pada suatu periode tertentu ?”. Metode apapun yang dipergunakan untuk menilai kinerja, penting sekali bagi kita untuk menghindari dua perangkap. Pertama, tidak mengasumsikan masalah kinerja terjadi secara terpisah satu sama lain, atau “selalu salahnya guru”. Kedua, tiada satu pun taksiran yang dapat memberikan gambaran keseluruhan tentang apa yang terjadi dan mengapa. Penilaian kinerja hanyalah sebuah titik awal bagi diskusi serta diagnosis lebih lanjut.

Sementara itu, Karen Seeker dan Joe B. Wilson memberikan gambaran tentang proses manajemen kinerja dengan apa yang disebut dengan siklus manajemen kinerja, yang terdiri dari tiga fase yakni perencanaan, pembinaan, dan evaluasi[7].
Perencanaan merupakan fase pendefinisian dan pembahasan peran, tanggung jawab, dan ekpektasi yang terukur. Perencanaan tadi membawa pada fase pembinaan,– di mana guru dibimbing dan dikembangkan – mendorong atau mengarahkan upaya mereka melalui dukungan, umpan balik, dan penghargaan. Kemudian dalam fase evaluasi, kinerja guru dikaji dan dibandingkan dengan ekspektasi yang telah ditetapkan dalam rencana kinerja. Rencana terus dikembangkan, siklus terus berulang, dan guru, kepala madrasah, dan staf administrasi , serta organisasi terus belajar dan tumbuh.

Setiap fase didasarkan pada masukan dari fase sebelumnya dan menghasilkan keluaran, yang pada gilirannya, menjadi masukan fase berikutnya lagi. Semua dari ketiga fase Siklus Manajemen Kinerja sama pentingnya bagi mutu proses dan ketiganya harus diperlakukan secara berurut. Perencanaan harus dilakukan pertama kali, kemudian diikuti Pembinaan, dan akhirnya Evaluasi.
Dengan tidak bermaksud mengesampingkan arti penting perencanaan kinerja dan pembinaan atau komunikasi kinerja. Di bawah ini akan dipaparkan tentang evaluasi kinerja guru. Bahwa agar kinerja guru dapat ditingkatkan dan memberikan sumbangan yang siginifikan terhadap kinerja sekolah secara keseluruhan maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja guru.

Dalam hal ini, Ronald T.C. Boyd mengemukakan bahwa evaluasi kinerja guru didesain untuk melayani dua tujuan, yaitu : (1) untuk mengukur kompetensi guru dan (2) mendukung pengembangan profesional.[8] Sistem evaluasi kinerja guru hendaknya memberikan manfaat sebagai umpan balik untuk memenuhi berbagai kebutuhan di kelas (classroom needs), dan dapat memberikan peluang bagi pengembangan teknik-teknik baru dalam pengajaran, serta mendapatkan konseling dari kepala madrasah, pengawas pendidkan atau guru lainnya untuk membuat berbagai perubahan di dalam kelas.

Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang evaluator (baca: kepala madrasah atau pengawas sekolah) terlebih dahulu harus menyusun prosedur spesifik dan menetapkan standar evaluasi. Penetapan standar hendaknya dikaitkan dengan : (1) keterampilan-keterampilan dalam mengajar; (2) bersifat seobyektif mungkin; (3) komunikasi secara jelas dengan guru sebelum penilaian dilaksanakan dan ditinjau ulang setelah selesai dievaluasi, dan (4) dikaitkan dengan pengembangan profesional guru .

Para evaluator hendaknya mempertimbangkan aspek keragaman keterampilan pengajaran yang dimiliki guru. dan menggunakan berbagai sumber informasi tentang kinerja guru, sehingga dapat memberikan penilaian secara lebih akurat. Beberapa prosedur evaluasi kinerja guru yang dapat digunakan oleh evaluator, diantaranya :

1. Mengobservasi kegiatan kelas (observe classroom activities). Ini merupakan bentuk umum untuk mengumpulkan data dalam menilai kinerja guru. Tujuan observasi kelas adalah untuk memperoleh gambaran secara representatif tentang kinerja guru di dalam kelas. Kendati demikian, untuk memperoleh tujuan ini, evaluator dalam menentukan hasil evaluasi tidak cukup dengan waktu yang relatif sedikit atau hanya satu kelas. Oleh karena itu observasi dapat dilaksanakan secara formal dan direncanakan atau secara informal dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu sehingga dapat diperoleh informasi yang bernilai (valuable)

2. Meninjau kembali rencana pengajaran dan catatan – catatan dalam kelas. Rencana pengajaran dapat merefleksikan sejauh mana guru dapat memahami tujuan-tujuan pengajaran. Peninjauan catatan-cataan dalam kelas, seperti hasil test dan tugas-tugas merupakan indikator sejauhmana guru dapat mengkaitkan antara perencanaan pengajaran , proses pengajaran dan testing (evaluasi).

3. Memperluas jumlah orang-orang yang terlibat dalam evaluasi. Jika tujuan evaluasi untuk meningkatkan pertumbuhan kinerja guru maka kegiatan evaluasi sebaiknya dapat melibatkan berbagai pihak sebagai evaluator, seperti : siswa, rekan sejawat, dan tenaga administrasi. Bahkan self evaluation akan memberikan perspektif tentang kinerjanya. Namun jika untuk kepentingan pengujian kompetensi, pada umumnya yang bertindak sebagai evaluator adalah kepala madrasah dan pengawas.

Setiap hasil evaluasi seyogyanya dilaporkan. Konferensi pasca-observasi dapat memberikan umpan balik kepada guru tentang kekuatan dan kelemahannya. Dalam hal ini, beberapa hal yang harus diperhatikan oleh evaluator : (1) penyampaian umpan balik dilakukan secara positif dan bijak; (2) penyampaian gagasan dan mendorong untuk terjadinya perubahan pada guru; (3) menjaga derajat formalitas sesuai dengan keperluan untuk mencapai tujuan-tujuan evaluasi; (4) menjaga keseimbangan antara pujian dan kritik; (5) memberikan umpan balik yang bermanfaat secara secukupnya dan tidak berlebihan.

Andi Kirana sebagaimana dikutip oleh Wannef Jambak[9] mengatakan bahwa kepemimpinan yang memberdayakan mengimplikasikan suatu keinginan untuk melimpahkan tanggung jawab dan berusaha membantu dalam menentukan kondisi dimana orang lain dapat berhasil.

Oleh karena itu, seorang pemimpin harus menjelaskan apa yang diharapkannya, harus menghargai kontribusi setiap orang, harus membawa lebih banyak orang keluar “kotak organisasi” dan harus mendorong setiap orang untuk berani mengemukakan pendapat. Sedangkan menurut Mulyadi dan Setiyawan, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Sholeh pengemukakan bahwa pemberdayaan staf adalah pemberian wewenang kepada staf untuk merencanakan dan membuat keputusan tentang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, tanpa harus mendapatkan otorisasi secara eksplisit dari atasan. Pemberian wewenang oleh manajemen kepada staf dilandasi oleh keberdayaan staf. Pemberdayaan bersifat mendukung budaya dan tidak menyalahkan. Kesalahan dianggap kesempatan untuk belajar[10]

Pemberdayaan menurut Jambak harus didukung oleh sejumlah etika yang konsisten, dan orang-orang yang hidup dengan etika tersebut memberikan contoh bagi yang lain. Etika dari pemimpin yang memberdayakan adalah menghormati orang dan menghargai kekuatan dan kontribusi mereka yang berbeda-beda, menekankan pentingnya komunikasi yang terbuka, jujur, bertanggung jawab untuk bekerjasama dengan yang lain, mengakui nilai pertumbuhan dan perkembangan pribadi, mementingkan kepuasaan pelanggan, berusaha memenuhi kebutuhan akan adanya perbaikan sebagai suatu proses yang tetap dimana setiap orang harus ikut ambil bagian secara aktif. Nilai-nilai etis ini akan membantu organisasi menjadi lebih kuat dan menjadi tempat yang lebih baik untuk bekerja bagi setiap individu. Pemberdayaan bertujuan menghapuskan hambatan-hambatan sebanyak mungkin guna membebaskan organisasi dan orang-orang yang bekerja di dalamnya, melepaskan mereka dari halangan-halangan yang hanya memperlambat reaksi dan merintangi aksi mereka

Menurut Mulyadi dan Setiyawan dalam Muhamamd Sholeh untuk mewujudkan suatu pemberdayaan dalam organisasi, seorang pemimpin harus memahami tiga keyakinan dasar berikut :

1. Badan yang lebih tinggi kedudukannya tidak boleh mengambil tanggung jawab yang dapat dan harus dilaksanakan oleh badan yang berkedudukan lebih rendah

2. Staf pada dasarnya baik

3. Pemberdayaan staf menekankan aspek kepercayaan yang diletakkan oleh manajemen kepada staf.[11]

Ad. 1 Badan yang lebih tinggi kedudukannya tidak boleh mengambil tanggung jawab yang dapat dan harus dilaksanakan oleh badan yang berkedudukan lebih rendah

Dengan kata lain, mencuri tanggung jawab orang merupakan suatu kesalahan, karena keadaan ini akhirnya menjadikan orang tersebut tidak terampil. Kenyataannya, di masa lalu organisasi lebih banyak dirancang untuk memastikan bahwa kesalahan tidak pernah terjadi. Dalam terminologi lama organisasi, pengambilalihan tanggung jawab bawahan oleh atasan merupakan hal yang normal terjadi, dan dibenarkan dengan suatu alasan bahwa suatu organisasi dibentuk untuk menghindari kesalahan.

Ad. 2 Staf pada dasarnya baik

Inti pemberdayaan staf adalah keyakinan bahwa orang pada dasarnya baik. Meskipun kadang-kadang orang gagal, dan kadang-kadang orang melakukan kesalahan, namun tujuan orang adalah menuju kebaikan. Sebagai manusia yang berakal sehat dan makhluk yang berfikir, orang memiliki kecenderungan alami untuk berhasil dalam pekerjaannya. Untuk dapat memberdayakan orang lain, atasan harus secara sederhana yakin bahwa;sepanjang masa, hampir setiap orang , hampir selalu, akan menggunakan kekuatannya dalam mewujudkan visinya dan dipandu oleh nilai-nilai kebaikan. Pemberdayaan staf dapat dipandang sebagai pemerdekaan, karena dengan pemberdayaan, atasan tidak lagi menggunakan pengawasan, pengecekan, verifikasi, dan mengatur aktivitas orang yang bekerja dalam organisasi. Atasan melakukan pemberdayaan dengan memberikan pelatihan dan teknologi yang memadai kepada staf, memberikan arah yang benar, dan membiarkan staf untuk mengerjakan semua yang dapat dikerjakan oleh mereka.

Ad 3. Pemberdayaan staf menekankan aspek kepercayaan yang diletakkan oleh manajemen kepada staf.

Dari pemberdayaan staf, hubungan yang tercipta antara manajemen dengan staf adalah hubungan berbasis kepercayaan (trust-based relationship) yang diberikan oleh manajemen kepada staf, atau sebaliknya kepercayaan yang dibangun oleh staf melalui kinerjanya. Lebih lanjut Stewart mengatakan ada enam cara yang dapat digunakan pemimpin dalam mengembangkan pemberdayaan staf/bawahan, yakni: meningkatkan kemampuan staf/bawahan (enabling), memperlancar (facilitating) tugas-tugas mereka, konsultasi (consulting), bekerjasama (collaborating), membimbing (mentoring) bawahan, dan mendukung (supporting).

Namun apapun cara yang ditempuh oleh pemimpin dalam memberdayakan staf/bawahan, menurut Sarah Cook dan Steve Macaulay kepemimpinan yang memberdayakan perlu mengacu pada empat dimensi, yaitu visi, realita, orang (manusia), dan keberanian.[12] Visi, pemimpin yang memberdayakan melihat semuanya secara luas dan mendorong pemahaman anggota tim tentang bagaimana cara mereka menyesuaikan diri dengan situasi dan berbagi dengan anggota tim tentang kemungkinan-kemungkinan baru di masa mendatang. Mereka memotivasi yang lain dengan visi tentang apa yang mereka coba meraih dan mendorong tim untuk memikirkan cara sampai ke sana. Realita, kepemimpinan yang memberdayakan menanggapi dan mencari fakta-fakta tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mereka tetap menjaga agar kaki mereka tetap menginjak bumi dengan secara teratur;memeriksa realita dan tidak mudah terpedaya atau mengabaikan peringatan. Mereka menyadari akan keberadaan orang lain dan keberadaan mereka sendiri.

Orang (manusia), pemimpin yang memberdayakan sensitif terhadap orang (sesama manusia), siap memenuhi kebutuhan orang lain dan melakukannya dengan cara etis yang akan membangun saling percaya dan menghormati. Keberanian, pemimpin yang memberdayakan adalah pemimpin yang siap bernisiatif dan mau mengambil resiko. Mereka tidak terbelenggu oleh cara-cara lama dalam menangani sesuatu di masa lalu atau oleh ketakutan-ketakutan akan kesalahan yang tidak beralasan.

Dalam memberdayakan staf/bawahan seorang pemimpin disamping harus berpegang pada etika dan prinsip-prinsip pemberdayaan yang ada, ia juga harus berani berbaur dengan staf/bawahan, mampu menjadi pembimbing dan motivator bagi mereka serta mampu menunjukkan dirinya sebagai sosok yang dapat diteladani akibat pemberdayaan itu sendiri.

Salah satu tugas kepala madrasah selaku manager terhadap guru salah satunya adalah melakukan penilaian atas kinerjanya. Penilaian ini mutlak dilaksanakan untuk mengetahui kinerja yang telah dicapai oleh guru. Apakah kinerja yang dicapai setiap guru baik, sedang atau kurang. Penilaian ini penting bagi setiap guru dan berguna bagi sekolah dalam menetapkan kegiatannya.

Dengan penilaian berarti guru mendapat perhatian dari atasannya sehingga dapat mendorong mereka untuk bersemangat bekerja, tentu saja asal penilaian ini dilakukan secara obyektif dan jujur serta ada tindak lanjutnya. Tindak lanjut penilaian ini guru memungkinkan untuk memperoleh imbalan balas jasa dari sekolah seperti memperoleh kenaikan jabatan seperti menjadi wakil, ketua jurusan, modal untuk mendapatkan kenaikan pangkat dengan sistem kredit.

Unsur prestasi karyawan yang dinilai oleh setiap organisasi atau perusahan tidaklah selalu sama, tetapi pada dasarnya unsur-unsur yang dinilai itu mencakup seperti hal-hal di atas. Demikian juga untuk menilai kinerja guru, unsur-unsur yang telah dipaparkan di atas dapat digunakan oleh kepala madrasah untuk melakukan penilaian namun tentu saja berkaitan dengan profesinya sebagai guru dengan utamanya sebagai pengajar.

Dalam melaksanakan tugasnya , guru tidak berada dalam lingkungan yang kosong. Ia bagian dari dari sebuah “mesin besar” pendidikan nasional, dan karena itu ia terikat pada rambu-rambu yang telah ditetapkan secara nasional mengenai apa yang mesti dilakukannya. Hal seperti biasa dimanapun, namun dalam konteks profesionalisme guru dimana mengajar dianggap sebagai pekerjan profesional, maka guru dituntut untuk profesional dalam melaksanakan tugasnya.

Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru bukan hanya berlangsung di Indonesia, melainkan di negara-negara maju. Misalnya, di Amerika Serikat isu tentang profesionalisasi guru ramai dibicarakan mulai pertengahan tahun 1980-an. Hal itu masih berlangsung hingga sekarang.

Dalam jurnal pendidikan, Educational Leadership edisi 1993 menurunkan laporan utama tentang soal ini. Menurut jurnal itu untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal :Pertama, guru mempunyai komitmen kepada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswa; Kedua, guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan; Ketiga, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar; Keempat, guru mampu berpikir sistematis tentang apa apa yang akan dilakukaknnya , dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa; Kelima, guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya kalau di kita, PGRI dan organisasi profesi lainnya.[13]

Untuk menciptakan guru yang profesional tersebut, diperlukan adanya bimbingan dan supervisi dari kepala madrasah. Tanpa adanya supervisi, peningkatan mutu pendidikan akan sulit tercapai. Hal ini disebabkan karena kinerja guru tergantung bagaimana gaya kepemimpinan kepala madrasah dalam memimpin. Bila kepala madrasah bersifat otokratik, maka guru akan cenderung bersikap pasif dan menunggu komando dari pimpinan. Dalam kepemimpinan yang laissez faire, guru akan melakukan inisiatif sebisanya atau akan mencoba bereksperimen dalam kegiatan belajar mengajar sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan dalam kepemimpinan yang demokratis, guru dapat berdiskusi dan memberi masukan kepada kepala madrasah dalam peningkatan mutu pendidikan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru



Kinerja guru dipengaruhi oleh faktor-faktor yang melingkupinya dan masing-masing individu berbeda satu sama lain.. Secara garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor[14], yaitu : faktor individu dan situasi kerja. Faktor individu menentukan bagaimana ia dapat mengaktualisasikan dirinya dalam lingkungan pekerjaan, sementara faktor situasi kerja mempengaruhi bagaimana individu dapat mengaktualiasikan diri sesuai dengan lingkungan sekitarnya.

Menurut Gibson, et al dalam Srimulyo ada tiga perangkat variabel yang mempengaruhi perilaku dan prestasi kerja atau kinerja, yaitu:

1. Variabel individual, terdiri dari:

a. Kemampuan dan ketrampilan: mental dan fisik

b. Latar belakang: keluarga, tingkat sosial, penggajian

c. demografis: umur, asal-usul, jenis kelamin.

2. Variabel organisasional, terdiri dari:

a. Sumberdaya

b. Kepemimpinan

c. Imbalan

d. Struktur

e. Desain pekerjaan.

3. Variabel psikologis, terdiri dari:

a. Persepsi

b. Sikap

c. Kepribadian

d. Belajar

e. Motivasi. [15],

Ketiga variabel tersebut berhubungan satu sama lain dan saling pengaruh-mempengaruhi. Gabungan variabel individu, organisasi, dan psikologis sangat menentukan bagaimana seseorang mengaktualisasikan diri.

Menurut Tiffin dan Me. Cormick dalam Srimulyo, ada dua variabel yang dapat mempengaruhi kinerja, yaitu:

1. Variabel individual, meliputi: sikap, karakteristik, sifat-sifat fisik, minat dan motivasi, pengalaman, umur, jenis kelamin, pcndidikan, serta faktor individual lainnya.

2. Variabel situasional:

1. Faktor fisik dan pekerjaan, terdiri dari; metode kerja, kondisi dan desain perlengkapan kerja, penataan ruang dan lingkungan fisik (penyinaran, temperatur, dan fentilasi)
2. Faktor sosial dan organisasi, meliputi: peraturan-peraturan organisasi, sifat organisasi, jenis latihan dan pengawasan, sistem upah dan lingkungan sosial.[16]

Sutemeister dalam Srimulyo mengemukakan pendapatnya, bahwa kinerja dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:

1. Faktor Kemampuan

a. Pengetahuan : pendidikan, pengalaman, latihan dan minat

b. Ketrampilan : kecakapan dan kepribadian.

2. Faktor Motivasi

a. Kondisi sosial : organisasi formal dan informal, kepemimpinan dan

b. Serikat kerja kebutuhan individu : fisiologis, sosial dan egoistic

c. Kondisi fisik : lingkungan kerja. [17]

Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa banyak faktor dan variabel yang mempengaruhi kinerja guru. Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari dalam diri, dan juga dapat berasal dari luar atau faktor situasional. Disamping itu, kinerja dipengaruhi oleh motivasi dan kemampuan individu.

Endnotes :
[1]Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia (Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN, 2000), h. 415

[2]Malayu Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia,(Jakarta:Bina Aksara, 2000), h. 87



[3]Ibid, h. 89

[4]Ibid, h. 126

[5] Robert Bacal,.Performance Management. Terj.Surya Darma dan Yanuar Irawan. (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 86

[6]Ibid. h. 94

[7]Karen R. Seeker, dan Joe B. Wilson. Planning Succesful Employee Performance (terj. Ramelan).( Jakarta : PPM. 2000), h. 135

[8]Ronald T. C Boyd,.. Improving Teacher Evaluations; Practical Assessment, Research& Evaluation”. ERIC Digest , 1989, h. 84

[9]Wannef Jambak, Dicari Kepala madrasah yang Mampu Meningkatkan Mutu Pendidikan, dalam http://gurutapteng.wordpress.com/2007/03/04/dicari-kepala-sekolah-yang-mampu-meningkat-kan-mutu-pendidikan/, akses tanggal 3 Oktober 2007

[10]Muhammad Sholeh, Peran Kepala madrasah Dalam Pemberdayaan Guru, dalam http://www.duniaguru.com /index.php?option=com_content&task=view&id=329&Itemid=40

[11]Ibid.

[12]Sarah Cook and Steve Macaulay, “Empowered customer service”, dalam Training for Quality Journal, Vol. 4. edisi 1, 1996 h. 9

[13]Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, (Yogyakarta : Adicita, 1999), h. 98

[14]Muhammad As’ad, Op. Cit. h. 49

[15]Srimulyo, Op. Cit, h. 39

[16]Ibid, h. 40

[17]Ibid.

Read More......

Sabtu, 17 Januari 2009

Kepemimpinan Kepala Madrasah

Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan pada dasarnya berarti kemampuan untuk memimpin; kemampuan untuk menentukan secara benar apa yang harus dikerjakan. Menurut Gibson, kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, yang dilakukan melalui hubungan interpersonal dan proses komunikasi untuk mencapai tujuan [i]. Newstrom & Davis berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses mengatur dan membantu orang lain agar bekerja dengan benar untuk mencapai tujuan[ii].

Sedangkan Stogdill berpendapat bahwa kepemimpinan juga merupakan proses mempengaruhi kegiatan kelompok, dengan maksud untuk mencapai tujuan dan prestasi kerja.[iii] Oleh karena itu, kepemimpinan dapat dipandang dari pengaruh interpersonal dengan memanfaatkan situasi dan pengarahan melalui suatu proses komunikasi ke arah tercapainya tujuan khusus atau tujuan lainnya. Pernyataan ini mengandung makna bahwa kepemimpinan terdiri dari dua hal yakni proses dan properti. Proses dari kepemimpinan adalah penggunaan pengaruh secara tidak memaksa, untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan kegiatan dari para anggota yang diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi. Properti dimaksudkan, bahwa kepemimpinan memiliki sekelompok kualitas dan atau karakteristik dari atribut-atribut yang dirasakan serta mampu mempengaruhi keberhasilan pegawai[iv].

Karol Kennedy sebagaimana dikutip oleh Mustopadijajamengemukakan perbedaan keduanya secara ekstrim dengan menyatakan bahwa :

“Leadership is about a sense of direction. The word lead comes from Anglo-Saxon word, common to north European languages, which means a road, a way, the path of a ship at sea. It’s knowing the next step is…… “Managing is a different image. It’s from the Latin manus, a hand. It’s handling a sword, a ship, a horse. It tends to be closely linked with the idea of machines. Managing had its origins in the 19th century with engineers and accountants coming in to run entrepreneurial outfits. They tended to think of them as systems”. [v]

Adair mendefinisikan kepemimpinan dalam tiga konsep “Task, Team, and Individual” dalam lingkaran saling terkait, sehingga merupakan satu kesatuan konsep ACL (Action-Centered Leadership); dan menyatakan “… leadership is about teamwork, creating teams. Teams tend to have leaders, leaders tend to create teams”[vi]. Adair berkeyakinan bahwa working groups atau teams akan memberikan tiga kontribusi pada pemenuhan kebutuhan bersama, berupa “the need to accomplish a common task, the need to be maintained as acohesive social unit or team, and the sum of the groups’s individual needs”; serta mengidentifikasi enam fungsi kepemimpinan berikut :

Planning (seeking all available information; defining groups tasks or goals; making a workable plan); ]

Initiating (briefing the group; allocating tasks; setting groups standards);

Controlling (maintaining groups standard; ensuring progress towards objectives; ‘prodding’ action sand decisions);

Supporting (expressing acceptance of individual contributions; encouraging and disciplining; creating team spirit; relieving tension with humour; reconciling disagreements);

Informing (clarifying task and plan; keeping group informed; receiving information from the group; summarizing ideas and suggestions); dan

Evaluating (checking feasibility of ideas; testing consequencies; evaluating group perfomance; helping group to evaluate itself).[vii]

Dalam pada itu Zwell mengidentifikasi sekurangnya 15 fungsi yang secara umum dilakukan oleh pemimpin, yaitu :

…modeling the corporate culture, developing the corporate philosophy, establishing and maintaining atandards, understanding the business, determining strategic direction, managing change, being agood follower : aligning with superior, inspiring and motivating, establishing elignment, establishing focus, holding ultimate responsibility, dealing with authority issues, determining successors, managing ambiguity, and optimizing orgaizational structure and process. [viii]

Dibalik fungsi-fungsi tersebut terdapat tugas dan peran kepemimpinan. Dalam hubungan itu, pada tahun 1990 John P. Kotter pada satu pihak mengidentifikasi tiga tugas prinsipil kepemimpinan, yaitu :

(1) Establishing direction, developing a vision and strategies for the future of the business;

(2) Aligning people - getting others to ‘understand, accept and line up in the chosen direction’, dan

(3) Motivating and inspiring people by appealing to very basic but often untapped human needs, value and emotions. [ix]

Pada lain pihak, ia pun mendefinisikan empat peran manajemen berikut,

Planning and budgeting, setting short-to medium-term targets;

Establishing steps to reach them and allocating resources;

Organizing and staffing, establishing an organizational structure to accomplish the plan, staffing the jobs; communicating the plan, delegating responsibility and establishing systems to monitor implementatio;

Controlling and problem solving, monitoring results, identifying problems and organizing to solve them.[x]

Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom. Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan. [xi]

Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga aliran teori berikut ini.

Teori Genetis (Keturunan). Inti dari teori menyatakan bahwa “Leader are born and nor made” (pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut aliran teori ini mengetengahkan pendapatnya bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang ditempatkan karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin, sesekali kelak ia akan timbul sebagai pemimpin. Berbicara mengenai takdir, secara filosofis pandangan ini tergolong pada pandangan fasilitas atau determinitis.

Teori Sosial. Jika teori pertama di atas adalah teori yang ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun merupakan ekstrim pada sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa “Leader are made and not born” (pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup.

Teori Ekologis. Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung kebenaran, maka sebagai reaksi terhadap kedua teori tersebut timbullah aliran teori ketiga. Teori yang disebut teori ekologis ini pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran. Namun demikian, penelitian yang jauh lebih mendalam masih diperlukan untuk dapat mengatakan secara pasti apa saja faktor yang menyebabkan timbulnya sosok pemimpin yang baik.

Selain pendapat-pendapat yang menyatakan tentang timbulnya gaya kepemimpinan tersebut, Hersey dan Blancharddalam Sutarto [xii] berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s)., yang dapat dinotasikan sebagai :

k = f (p, b, s).

Kepemimpinan sama dengan gabungan dari fungsi (f) pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi(s). Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin. Dengan bawahan yang tepat maka team kerja dapat bekerja secara maksimal. Sedangkan bila tidak dapat memiliki bawahan yang dapat diandalkan, pada akhirnya beban akan kembali ke pimpinan.

Adapun situasi (s) menurut Hersey dan Blanchard adalah suatu keadaan yang kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan. Hubungan antara ketiganya yang saling mendukung merupakan sinergi yang akan meningkatkan tingkat keberhasilan kepempimpinan mereka.

Dalam praktiknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa gaya kepemimpinan; di antaranya adalah sebagian berikut:

a. Gaya Otokratis.

Menurut Ngalim Purwanto kepemimpinan yang otokratis adalah pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota-anggota kelompoknya. Baginya memimpin adalah menggerakan dan memaksa kelompok. Kekuasaan pemimpin yang otokratis hanya dibatasi oleh undang-undang. Penafsirannya sebagai pemimpin tidak lain adalah menunjukan dan memberi perintah.[xiii] Pada gaya kepemimpinan ini keputusan mutlak ada pada tangan pemimpin, pemimpin mendikte tugas yang harus dikerjakan oleh bawahanya, dalam menilai bawahan bersifat subjektif dan karena langkah-langkah aktivitas dilakukan satu persatu oleh pemimpin maka langkah mendatang kadang tidak pasti.

Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri sebagai berikut: Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi; Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata; Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat; Terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya; Dalam tindakan pengge-rakkannya sering memperguna-kan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum.

Berdasarkan nilai tersebut, seorang pemimpin otokratik akan menunjukkan sikap yang menonjolkan keakuannya dalam bentuk:

Kecenderungan memperlakukan bawahan sama dengan alat lain dalam organisasi

Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas

Pengabaian peranan bawahan dalam proses pengambilan keputusan

Sikap pemimpin demikian akan menampakkan diri pada perilakunya dalam berinteraksi dengan bawahannya, misalnya tidak mau menerima saran dan pandangan bawahannya, menonjolkan kekuasaan formal. Dengan persepsi, nilai, sikap, dan perilaku demikian, seorang pemimpin yang otokratik dalam praktek akan menggunakan gaya kepemimpinan:

Menuntut ketaatan penuh bawahannya

Menegakkan disiplin dengan kaku

Memberikan perintah atau instruksi dengan keras

Menggunakan pendekatan punitip dalam hal bawahan melakukan penyimpangan.

b. Gaya Demokratis.

Pada umumnya, baik dikalangan ilmuwan, maupun praktisi manajemen terdapat kesepakatan bahwa gaya pemimpin yang ideal dan paling didambakan adalah pemimpin yang demokratik. Namun demikian pada umumnya pemimpin yang demokratik tidak selalu merupakan pemimpin yang efektif dalam kehidupan organisasional, karena ada kalanya dalam hal bertindak dan mengambil keputusan bisa terjadi keterlambatan, yang disebabkan sebagai konskuensi dari keterlibatan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan tersebut.

Pemimpin ini memandang dan menempatkan orang-orang yang dipimpinnya sebagai subyek yang memiliki kepribadian dengan berbagai aspeknya, seperti dirinya juga. Kemauan, kehendak, kemampuan, buah pikiran, pendapat kreatifitas, dan inisiatif yang berbeda-beda akan dihargai dan disalurkan secara wajar[xiv]. Yang menonjol dari pemimpin ini adalah dalam mengambil keputusan sangat mementingkan musyawarah, yang diwujudkan pada setiap jenjang dan di dalam unit masing-masing. Dia memandang peranan dirinya di dalam organisasi sebagai koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi, yang gilirannya sehingga organisasi bergerak sebagai totalitas.[xv]

Seorang pemimpin yang demokratik akan dihormati dan disegani, dan bukan ditakuti, tetapi karena perilakunya dalam kehidupan organisasional. Perilakunya mendorong para bawahannya untuk menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya. Pendek kata, dia menempatkan unsur manusia dalam organisasi pada posisi yang paling sentral, dan akan sangat bangga bila para bawahannya menunjukkan kemampuan kerja yang lebih tinggi atau lebih baik dari kempuannya sendiri.

Gaya kepemimpinan demokratis memimpin dengan pendekatan “people centered”, yang menurut Siagian biasanya mengejawantah dalam berbagai hal, sebagai berikut:

memandang bahwa betapapun besarnya sumber daya dan dana yang tersedia bagi organisasi, kesemuanya itu bagi dirinya tidak berarti apa-apa kecuali digunakan dan di amnfaatkan oleh manusia dalam organisasi demi kepentingan pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi;

dalam kehidupan organisasional tidak mungkin, tidak perlu dan bahkan tidak boleh semua kegiatan dilakukan sendiri oleh pimpinan dan oleh karenanya selalu mengusahakan adanya pendelegasian wewenang yang praktis dan realistik tanpa kehilangan kendali organisasional;

para bawahan dilibatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri melalui peran-sertanya dalam proses pengambilan keputusan;

kesungguhan yang nyata dalam memperlakukan para bawahan sebagai makhluk politik, makhluk ekonomi, makhkluk sosial dan sebagai individu dengan karakteristik dan jati diri yang khas, yang mempunyai kebutuhan yang sangat komplek. Mulai yang bersifat kebendaan, seperti sandang, pangan dan papan, serta meningkat kepada kebutuhan yang bersifat keamanan, kebutuhan sosial, dan kebutuhan pengakuan status hingga kepada kebutuhan yang bersifat mental spiritual; dan

berusaha memperoleh pengakuan yang tulus dari para bawahan atas kepemimpinan orang yang bersangkutan, yang didasarkan kepada pembuktian kemampuan memimpin organisasi dengan efektif, bukan sekedar karena kepemilikan wewenang formal yang melekat pada dirinya dengan berdasarkan pengangkatannya.[xvi]

Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa gaya kepemimpinan yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini terjadi karena tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut : dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya; senang menerima saran, pendapat, dan bahkan kritik dari bawahannya; selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam usaha mencapai tujuan; ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain; selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya; dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.

Secara implisit tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin tipe demokratis bukanlah hal yang mudah. Namun, karena pemimpin yang demikian adalah yang paling ideal, alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi seorang pemimpin yang demokratis. Pemimpin yang demokratis dapat secara bersama-sama bawahannya menuju keberhasilan bersama. Keberhasilan dalam kepemimpinan demokratis adalah keberhasilan pemimpin memberdayakan bawahannya.

c. Gaya Laissez Faire

Menurut Siagian gaya kepemimpinan ini bercirikan sebagai berikut:

pendelegasian wewenang terjadi secara ekstentif;

pengambilan keputusan diserahkan kepada para pejabat pimpinan yang lebih rendah dan kepada para petugas operasional, kecuali dalam hal-hal tertentu yang nyata-nyata menuntut keterlibatannya secara langsung;

status quo operasional tidak terganggu;

penumbuhan dan pengembangan kemampuan berfikir dan bertindak yang inovatif dan kreaktif diserahkan kepada para anggota organisasi yang bersangkutan sendiri; dan

sepanjang dan selama para anggota organisasi menunjukkan perilaku dan prestasi kerja yang memadai, intervensi pimpinan dalam perjalanan organisasi berada pada tingkat yang minimum.[xvii]

Dapat dikatakan bahwa persepsi seorang pemimpin yang laissez faire tentang peranannya sebagai seorang pemimpin berkisar pada pandangannya bahwa pada umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena para anggota organisasi terdiri dari orang orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran apa yang ingin dicapai, tugas apa yang ingin ditunaikan oleh masing-masing anggota dan seorang pimpinan tidak perlu terlalu sering melakukan intervensi dalam kehidupan organisasional. Pemimpin yang laissez faire menganggap bahwa anggotanya sudah mengetahui dan cukup dewasa untuk taat kepada peraturan yang berlaku, dan pemimpin tipe ini cenderung lebih memilih peran yang pasif dan membiarkan organisasi berjalan menurut temponya sendiri tanpa banyak mencampuri bagaimana organisasi harus dijalankan dan digerakkan.

Nilai-nilai yang dianut oleh seorang pemimpin yang laissez faire dalammenyelenggarakan fungsi-fungsi kepemimpinannya biasanya bertolak dari filsafat hidup bahwa manusia pada dasarnya memiliki rasa solidaritas dalam kehidupan bersama, mempunyai kesetiaan kepada sesama dan kepada organisasi, taat kepada norma-norma dan peraturan yang telah disepakati bersama, mempunyai rasa tanggung jawab yang besar terhadapa tugas yang harus diembannya.

Dengan sifat organisasional demikian oleh pimpinan yang memiliki kepemimpinan laissez faire, tidak ada lagi alasan yang kuat menganggap bawahan sebagai orang-orang yang tidak dewasa, tidak bertanggung jawab, tidak setia dan sebagainya. Demikianlah pandangan pemimpin yang laissez faire, nilai yang tepat antara atasan-bawahan adalah nilai yang didasarkan kepada saling mempercayai.

Pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan laissez faire dalam memimpin organisasi, dan para bawahannya biasanya adalah sikap yang permisif, dalam arti bahwa para anggota organisasi boleh saja bertindak sesuai dengan keyakinan dan hati nuraninya asal kepentingan bersama tetap terjaga dan tujuan organisasi tetap tercapai. Prakarsanya dalam menyusun struktur tugas para bawahan dapat dikatakan minim. Kepentingan dan kebutuhan para bawahan itu mendapat perhatian besar karena dengan terpeliharanya kepentingan dan terpuaskannya berbagai kebutuhan para bawahan itu, mereka akan dengan sendirinya berperilaku positif dalam kehidupan organisasi

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gaya Kepemimpinan

Dalam melaksanakan aktivitasnya bahwa pemimpin dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut sebagaimana dikemukakan oleh H. Jodeph Reitz yang dikutip Nanang Fattah, sebagai berikut :

Kepribadian (personality), pengalaman masa lalu dan harapan pemimpin, hal ini mencakup nilai-nilai, latar belakang dan pengalamannya akan mempengaruhi pilihan akan gaya kepemimpinan.

Harapan dan perilaku atasan.

Karakteristik, harapan dan perilaku bawahan mempengaruhi terhadap apa gaya kepemimpinan.

Kebutuhan tugas, setiap tugas bawahan juga akan mempengaruhi gaya pemimpin.

Iklim dan kebijakan organisasi mempengaruhi harapan dan perilaku bawahan.

Harapan dan perilaku rekan.[xviii]

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka jelaslah bahwa kesuksesan pemimpin dalam aktivitasnya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat menunjang untuk berhasilnya suatu kepemimpinan, oleh sebab itu suatu tujuan akan tercapai apabila terjadinya keharmonisan dalam hubungan atau interaksi yang baik antara atasan dengan bawahan, di samping dipengaruhi oleh latar belakang yang dimiliki pemimpin, seperti motivasi diri untuk berprestasi, kedewasaan dan keleluasaan dalam hubungan social dengan sikap-sikap hubungan manusiawi.

Selanjutnya peranan seorang pemimpin sebagaimana dikemukakan oleh M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut :

Sebagai pelaksana (executive)

Sebagai perencana (planner)

Sebagai seorangahli (expert)

Sebagai mewakili kelompok dalam tindakannya ke luar (external group representative)

Sebagai mengawasi hubungan antar anggota-anggota kelompok (controller of internal relationship)

Bertindak sebagai pemberi gambaran/pujian atau hukuman (purveyor of rewards and punishments)

Bentindak sebagai wasit dan penengah (arbitrator and mediator)

Merupakan bagian dari kelompok (exemplar)

Merupakan lambing dari pada kelompok (symbol of the group)

Pemegang tanggung jawab para anggota kelompoknya (surrogate for individual responsibility)

Sebagai pencipta/memiliki cita-cita (ideologist)

Bertindak sebagai seorang aya (father figure)

Sebagai kambing hitam (scape goat).[xix]

Berdasarkan dari peranan pemimpin tersebut, jelaslah bahwa dalam suatu kepemimpinan harus memiliki peranan-peranan yang dimaksud, di samping itu juga bahwa pemimpin memiliki tugas yang embannya, sebagaimana menurut M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut :

Menyelami kebutuhan-kebutuhan kelompok dan keinginan kelompoknya.

Dari keinginan itu dapat dipetiknya kehendak-kehendak yang realistis dan yang benar-benar dapat dicapai.

Meyakinkan kelompoknya mengenai apa-apa yang menjadi kehendak mereka, mana yang realistis dan mana yang sebenarnya merupakan khayalan.[xx]

Tugas pemimpin tersebut akan berhasil dengan baik apabila setiap pemimpin memahami akan tugas yang harus dilaksanaknya. Oleh sebab itu kepemimpinan akan tampak dalam proses di mana seseorang mengarahkan, membimbing, mempengaruhi dan atau menguasai pikiran-pikiran, perasaan-perasaan atau tingkah laku orang lain.

Untuk keberhasilan dalam pencapaian suatu tujuan diperlukan seorang pemimpian yang profesional, di mana ia memahami akan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin, serta melaksanakan peranannya sebagai seorang pemimpin. Di samping itu pemimpin harus menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan bawahan, sehingga terciptanya suasana kerja yang membuat bawahan merasa aman, tentram, dan memiliki suatu kebebsan dalam mengembangkan gagasannya dalam rangka tercapai tujuan bersama yang telah ditetapkan.

4. Kompetensi Kepemimpinan

Suatu persyaratan penting bagi efektivitas atau kesuksesan pemimpin (kepemimpinan) dan manajer (manajemen) dalam mengemban peran, tugas, fungsi, atau pun tanggung jawabnya masing-masing adalah kompetensi. Konsep mengenai kompetensi untuk pertamakalinya dipopulerkan oleh Boyatzis yang didefinisikan kompetensi sebagai “kemampuan yang dimiliki seseorang yang nampak pada sikapnya yang sesuai dengan kebutuhan kerja dalam parameter lingkungan organisasi dan memberikan hasil yang diinginkan”. Secara historis perkembangan kompetensi dapat dilihat dari beberapa definisi kompetensi terpilih dari waktu ke waktu yang dikembangkan oleh Burgoyne, Woodruffe, Spencer dan kawan-kawan, Furnham dan Murphy .[xxi]

Menurut Rotwell, kompetensi adalah an area of knowledge or skill that is critical for production ke outputs. Lebih lanjut Rotwell menuliskan bahwa competencies area internal capabilities that people brings to their job; capabilities which may be expressed in a broad, even infinite array of on the job behaviour. Spencer berpendapat, kompetensi adalah “… an undderlying characteristicof an individual that is causally related to criterion referenced effective and/or superior performance in ajob or situation”. Senada dengan itu Zwell berpendapat “Competencies can be defined as the enduring traits and characteristics that determine performance. Examples of competencies are initiative, influence, teamwork, innovation, and strategic thinking”. [xxii]

Beberapa pandangan di atas mengindikasikan bahwa kompetensi merupakan karakteristik atau kepribadian (traits) individual yang bersifat permanen yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Selain traits dari Spencer dan Zwell tersebut, terdapat karakteristik kompetensi lainnya, yatu berupa motives, self koncept, knowledge, dan skill. Menurut review Asropi, berbagai kompetensi tersebut mengandung makna sebagai berikut : Traits merunjuk pada ciri bawaan yang bersifat fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap berbagai situasi atau informasi. Motives adalah sesuatu yang selalu dipikirkan atau diinginkan seseorang, yang dapat mengarahkan, mendorong, atau menyebabkan orang melakukan suatu tindakan. Motivasi dapat mengarahkan seseorang untuk menetapkan tindakan-tindakan yang memastikan dirinya mencapai tujuan yang diharapkan. Self concept adalah sikap, nilai, atau citra yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri; yang memberikan keyakinan pada seseorang siapa dirinya. Knowledge adalah informasi yang dimilki seseorang dalam suatu bidang tertentu. Skill adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas tertentu, baik mental atau pun fisik. [xxiii]

Berbeda dengan keempat karakteristik kompetensi lainnya yang bersifat intention dalam diri individu, skill bersifat action. Menurut Spencer, skill menjelma sebagai perilaku yang di dalamnya terdapat motives, traits, self concept, dan knowledge[xxiv].

Dalam pada itu, menurut Spencer dan Kazanas terdapat kompetensi kepemimpinan secara umum yang dapat berlaku atau dipilah menurut jenjang, fungsi, atau bidang, yaitu kompetensi berupa : result orientation, influence, initiative, flexibility, concern for quality, technical expertise, analytical thinking, conceptual thinking, team work, service orientation, interpersonal awareness, relationship building, cross cultural sensitivity, strategic thinking, entrepreneurial orientation, building organizational commitment, dan empowering others, develiping others.[xxv] Kompetensi-kompetensi tersebut pada umumnya merupakan kompetensi jabatan manajerial yang diperlukan hampir dalam semua posisi manajerial.

Ke 18 kompetensi yang diidentifikasi Spencer dan Kazanas tersebut dapat diturunkan ke dalam jenjang kepemimpinan berikut : pimpinan puncak, pimpinan menengah, dan pimpinan pengendali operasi teknis (supervisor). Kompetensi pada pimpinan puncak adalah result (achievement) orientation, relationship building, initiative, influence, strategic thinking, building organizational commitment, entrepreneurial orientation, empowering others, developing others, dan felexibilty. Adapun kompetensi pada tingkat pimpinan menengah lebih berfokus pada influence, result (achievement) orientation, team work, analitycal thinking, initiative, empowering others, developing others, conceptual thingking, relationship building, service orientation, interpersomal awareness, cross cultural sensitivity, dan technical expertise. Sedangkan pada tingkatan supervisor kompetensi kepemimpinannya lebih befokus pada technical expertise, developing others, empowering others, interpersonal understanding, service orientation, building organzational commitment, concern for order, influence, felexibilty, relatiuonship building, result (achievement) orientation, team work, dan cross cultural sensitivity.[xxvi]

Dalam hubungan ini Kouzes dan Posner meyakini bahwa suatu kinerja yang memiliki kualitas unggul berupa barang atau pun jasa, hanya dapat dihasilkan oleh para pemimpin yang memiliki kualitas prima. Dikemukakan, kualitas kepemimpinan manajerial adalah suatu cara hidup yang dihasilkan dari "mutu pribadi total" ditambah "kendali mutu total" ditambah "mutu kepemimpinan". Berdasarkan penelitiannya, ditemukan bahwa terdapat 5 (lima) praktek mendasar pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan unggul, yaitu; (1) pemimpin yang menantang proses, (2) memberikan inspirasi wawasan bersama, (3) memungkinkan orang lain dapat bertindak dan berpartisipasi, (4) mampu menjadi penunjuk jalan, dan (5) memotivasi bawahan.[xxvii]

Adapun ciri khas manajer yang dikagumi sehingga para bawahan bersedia mengikuti perilakunya adalah, apabila manajer memiliki sifat jujur, memandang masa depan, memberikan inspirasi, dan memiliki kecakapan teknikal maupun manajerial. Sedangkan Burwash dalam hubungannya dengan kualitas kepemimpinan manajer mengemukakan, kunci dari kualitas kepemimpinan yang unggul adalah kepemimpinan yang memiliki paling tidak 8 sampai dengan 9 dari 25 kualitas kepemimpinan yang terbaik. [xxviii] Dinyatakan, pemimpin yang berkualitas tidak puas dengan "status quo" dan memiliki keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Beberapa kriteria kualitas kepemimpinan manajer yang baik antara lain, memiliki komitmen organisasional yang kuat, visionary, disiplin diri yang tinggi, tidak melakukan kesalahan yang sama, antusias, berwawasan luas, kemampuan komunikasi yang tinggi, manajemen waktu, mampu menangani setiap tekanan, mampu sebagai pendidik atau guru bagi bawahannya, empati, berpikir positif, memiliki dasar spiritual yang kuat, dan selalu siap melayani.

Dalam pada itu, Warren Bennis juga mengemukakan bahwa peran kepemimpinan adalah “empowering the collective effort of the organization toward meaningful goals” dengan indikator keberhasilan sebagai berikut : People feel important; Learning and competence are reinforced; People feel they part of the organization; dan Work is viewed as excisting, stimulating, and enjoyable.[xxix] Sementara itu, Soetjipto Wirosardjono menandai kualifikasi kepemimpinan berikut, “kepemimpinan yang kita kehendaki adalah kepemimpinan yang secara sejati memancarkan wibawa, karena memiliki komitmen, kredibilitas, dan integritas”. [xxx]

Sebelum itu, Bennis bersama Burt Nanus mengidentifikasi bentuk kompetensi kepemimpinan berupa “the ability to manage” dalam empat hal : attention (= vision), meaning (= communication), trust (= emotional glue), and self (= commitment, willingness to take risk). Kemudian pada tahun 1997, keempat konsep tersebut diubah menjadi the new rules of leradership berupa (a) Provide direction and meaning, a sense of purpose; (b) Generate and sustain trust, creating authentic relationships; (c) Display a bias towards action, risk taking and curiosity; dan (d) Are purveyors of hope, optimism and a psychological resilience that expects success. [xxxi]

Bagi Rossbeth Moss Kanter, dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin terasa kompleks dan akan berkembang semakin dinamik, diperlukan kompetensi kepemimpinan berupa conception yang tepat, competency yang cukup, connection yang luas, dan confidence. [xxxii]

Tokoh lainnya adalah Ken Shelton mengidentikasi kompetensi dalam nuansa lain., menurut hubungan pemimpin dan pengikut, dan jiwa kepemimpinan[xxxiii]. Dalam hubungan pemimpin dan pengikut, ia menekankan bagaimana keduanya sebaiknya berinterkasi. Fenomena ini menurut Pace memerlukan kualitas kepemimpinan yang tidak mementingkan diri sendiri. Selain itu, menurut Carleff pemimpin dan pengikut merupak dua sisi dari proses yang sama. Dalam hubungan jiwa kepemimpinan, sejumlah pengamat memasuki wilayah “spiritual”. Rangkaian kualitas lain yang mewarnainya antara lain adalah hati, jiwa, dan moral. Bardwick menyatakan bahwa kepemimpinan bukanlah masalah intelektual atau pengenalan, melainkan masalah emosional. Sedangkan Bell berpikiran bahwa pembimbing yang benar tidak selamanya merupakan mahluk rasional. Mereka seringkali adalah pencari nyala api.

Pemimpin memiliki tiga peran utamanya yakni peran interpersonal, peran pengolah informasi (information processing), serta peran pengambilan keputusan (decision making). Peran pertama meliputi meliputi peran figurehead (sebagai simbol dari organisasi), leader (berinteraksi dengan bawahan, memotivasi dan mengembangkannya), dan liaison (menjalin suatu hubungan kerja dan menangkap informasi untuk kepentingan organisasi). Sedangkan peran kedua terdiri dari tiga peran juga yakni monitor (memimpin rapat dengan bawahan, mengawasi publikasi perusahaan, atau berpartisipasi dalam suatu kepanitiaan), disseminator (menyampaikan infiormasi, nilai-nilai baru dan fakta kepada bawahan) serta spokesman (juru bicara atau memberikan informasi kepada orang-orang diluar organisasinya). Adapun peran ketiga terdiri dari empat peran yaitu entrepreneur (mendesain perubahan dan pengembangan dalam organisasi), disturbance handler (mampu mengatasi masalah terutama ketika organisasi sedang dalam keadaan menururn), resources allocator (mengawasi alokasi sumber daya manusia, materi, uang dan waktu dengan melakukan penjadualan, memprogram tugas-tugas bawahan, dan mengesahkan setiap keputusan), serta negotiator (melakukan perundingan dan tawar menawar).[xxxiv]

5. Kepemimpinan Kepala madrasah

Di antara pemimpin pendidikan yang bermacam-macam jenis dan tingkatannya, kepala madrasah merupakan pemimpin pendidikan yang sangat penting karena kepala madrasah berhubungan langsung dengan pelaksanaan program pendidikan di sekolah. Ketercapaian tujuan pendidikan sangat bergantung pada kecakapan dan kebijaksanaan kepala madrasah sebagai salah satu pemimpin pendidikan. Hal ini karena kepala madrasah merupakan seorang pejabat yang profesional dalam organisasi sekolah yang bertugas mengatur semua sumber organisasi dan bekerjasama dengan guru- guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan pendidikan.

Kegiatan lembaga pendidikan sekolah di samping diatur oleh pemerintah, sesungguhnya sebagian besar ditentukan oleh aktivitas kepala madrasahnya. Menurut Pidarta, kepala madrasah merupakan kunci kesuksesan sekolah dalam mengadakan perubahan. [xxxv] Sehingga kegiatan meningkatkan dan memperbaiki program dan proses pembelajaran di sekolah sebagian besar terletak pada diri kepala madrasah itu sendiri. Pidarta menyatakan bahwa kepala madrasah memiliki peran dan tanggungjawab sebagai manajer pendidikan, pemimpin pendidikan, supervisor pendidikan dan administrator pendidikan.[xxxvi]

a. Manajer Sekolah

Kepala madrasah sebagai manajer di sekolah. Tugas manajer pendidikan adalah merencanakan sesuatu atau mencari strategi yang terbaik, mengorganisasi dan mengkoordinasi sumber-sumber pendidikan yang masih berserakan agar menyatu dalam melaksanakan pendidikan, dan mengadakan kontrol terhadap pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kepala madrasah memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan, karena atas perannya sebagai manajer di sekolah dituntut untuk mampu : (1) mengadakan prediksi masa depan sekolah, misalnya tentang kualitas yang diinginkan masyarakat, (2) melakukan inovasi dengan mengambil inisiatif dan kegiatan-kegiatan yang kreatif untuk kemajuan sekolah, (3) menciptakan strategi atau kebijakan untuk mensukseskan pikiran-pikiran yang inovatif tersebut, (4) menyusun perencanaan, baik perencanaan strategis maupun perencanaan operasional, (5) menemukan sumber-sumber pendidikan dan menyediakan fasilitas pendidikan, (6) melaku kan pengendalian atau kontrol terhadap pelaksanaan pendidikan dan hasilnya.

b. Pemimpin Sekolah

Menurut Lipoto peranan kepemimpinan kepala madrasah adalah sebagai: (1) figurehead (symbol); (2) leader (memimpin; (3) liason (antara); (4) monitor memonitor; (5) disseminator (menyebarkan) informasi; (6) spokesmen (juru bicara); (7) entrepreneur ( wiraswasta); (8) Disturbance handler ( menangani gangguan); (9) Resource allocator (pengumpul dana); (10) negotiator ( perunding)[xxxvii].Lebih lanjut Lipoto mengatakan bahwa sebagai pemimpin, maka kepala madrasah harus mampu menggerakkan orang lain agar secara sadar dan sukarela melaksanakan kewajibannya secara baik sesuai dengan apa yang diharapkan pimpinan dalam mencapai tujuan. Kepemimpinan kepala madrasah terutama ditujukan kepada para guru karena merekalah yang terlibat secara langsung dalam proses pendidikan. Namun demikian, kepemimpinan kepala madrasah juga ditujukan kepada para tenaga kependidikan lainnya serta siswa.

Hal senada dikatakan Wahjosumidjo peran kepala madrasah sebagai pemimpin sekolah memiliki tanggung jawab menggerakkan seluruh sumberdaya yang ada di sekolah sehingga melahirkan etos kerja dan produktivitas yang tinggi dalam mencapai tujuan. Hick, dalam Wahjosumido, berpendapat bahwa untuk dapat menjadi pemimpin sekolah yang baik, kepala madrasah harus : (1) adil, (2) mampu memberikan sugesti (suggesting), (3) mendukung tercapainya tujuan (supplying objectives), (4) mampu sebagai katalisator, (5) menciptakan rasa aman (providing security), (6) dapat menjadi wakil organisasi (representing), (7) mampu menjadi sumber inspirasi (inspiring), (8) bersedia menghargai (prising). [xxxviii]

Dalam pelaksanaannya, keberhasilan kepemimpinan kepala madrasah, sangat dipengaruhi hal-hal sebagai berikut: (1) Kepribadian yang kuat; kepala madrasah harus mengembangkan pribadi agar percaya diri, berani, bersemangat, murah hati, dan memiliki kepekaan sosial. (2) Memahami tujuan pendidikan dengan baik; pemahaman yang baik merupakan bekal utama kepala madrasah agar dapat menjelaskan kepada guru, staf dan pihak lain serta menemukan strategi yang tepat untuk mencapainya. (3) Pengetahuan yang luas; kepala madrasah harus memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas tentang bidang tugasnya maupun bidang yang lain yang terkait. (4) Keterampilan professional yang terkait dengan tugasnya sebagai kepala madrasah, yaitu: (a) keterampilan teknis, misalnya: teknis menyusun jadwal pelajaran, memimpin rapat. (b) keterampilan hubungan kemanusiaan, misalnya : bekerjasama dengan orang lain, memotivasi, guru dan staf (c) Keterampilan konseptual, misalnya mengembangkan konsep pengembangan sekolah, memperkirakan masalah yang akan muncul dan mencari pemecahannya.[xxxix]

Dalam masalah ini Wahjosumidjo berpendapat, bagi kepala madrasah yang ingin berhasil menggerakkan para guru/staf dan para siswa agar berperilaku dalam mencapai tujuan sekolah adalah: (1) menghindarkan diri dari sikap dan perbuatan yang bersifat memaksa atau bertindak keras terhadap guru, staf dan para siswa; (2) harus mampu melakukan perbuatan yang melahirkan kemauan untuk bekerja dengan penuh semangat dan percaya diri terhadap para guru, staf dan siswa, dengan cara meyakinkan dan membujuk. [xl] Meyakinkan (persuade) dilakukan dengan berusaha agar para guru, staf dan siswa percaya bahwa apa yang dilakukan adalah benar. Sedangkan membujuk (induce) adalah berusaha meyakinkan para guru, staf dan siswa bahwa apa yang dilakukan adalah benar. Pemimpin yang efektif selalu memanfaatkan kerjasama dengan para bawahan untuk mencapai cita-cita organisasi

Disamping itu menurut Mulyasa, kepala madrasah yang efektif adalah kepala madrasah yang; (1) mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar dan produktif; (2) dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan; (3) mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan; (4) berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah; (5) bekerja dengan tim manajemen; (6) berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.[xli]

c. Administrator Sekolah

Kepala madrasah sebagai administrator dalam lembaga pendidikan mempunyai tugas-tugas antara lain : melakukan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan terhadap bidang-bidang seperti ; kurikulum, kesiswaan, kantor, kepegawaian, perlengkapan, keuangan, dan perpustakaan. Jadi kepala madrasah harus mampu melakukan; (1) pengelolaan pengajaran; (2) pengelolaan kepegawaian; (3) pengelolaan kesiswaan; (4) pengelolaan sarana dan prasarana; (5) pengelolaan keuangan dan; (6) pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat.

d. Supervisor Sekolah

Supervisi merupakan kegiatan membina dan dengan membantu pertumbuhan agar setiap orang mengalami peningkatan pribadi dan profesinya. Menurut Sahertian, supervisi adalah usaha memberi layanan kepada guru-guru baik secara individual maupun secara berkelompok dalam usaha memperbaiki pengajaran dengan tujuan memberikan layanan dan bantuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang dilakukan guru di kelas. [xlii]

Supervisi merupakan pengembangan dan perbaikan situasi belajar mengajar yang pada akhirnya perkembangan siswa. Itu perbaikan situasi belajar mengajar bertujuan untuk : (1) menciptakan, memperbaiki, dan memelihara organisasi kelas agar siswa dapat mengembangkan minat, bakat, dan kemampuan secara optimal, (2) menyeleksi fasilitas belajar yang tepat dengan problem dan situasi kelas, (3) mengkoordinasikan kemauan siswa mencapai tujuan pendidikan, (4) meningkatkan moral siswa.

Lebih lanjut Ngalim Purwanto mengemukakan bahwa supervisi ialah suatu aktivitas pembinaan yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan sekolah maupun guru, oleh karena itu program supervisi harus dilakukan oleh supervisor yang memiliki pengetahuan dan keterampilan mengadakan hubungan antar individu dan ketrampilan teknis[xliii].

Supervisor di dalam tugasnya bukan saja mengandalkan pengalaman sebagai modal utama, tetapi harus diikuti atau diimbangi dengan jenjang pendidikan formal yang memadai. Beberapa paparan di atas dapat disimpulkan bahwa kepala madrasah merupakan penyelenggara pendidikan yang juga, yaitu : (1) menjadi manajer lembaga pendidikan, (2) menjadi pemimpin, (3) sebagai penggerak lembaga pendidikan, (4) sebagai supervisor atau pengawas, (5) sebagai pencipta iklim bekerja dan belajar yang kondusif.

Sesuai dengan peran dan tugas-tugas di atas, kepala madrasah sebagai manajer sekolah dituntut untuk dapat menciptakan manajemen sekolah yang efektif. Menurut Mantja, keefektifan manajemen pendidikan ditentukan oleh profesionalisme manajer pendidikan[xliv]. Adapun sebagai manajer terdepan kepala madrasah merupakan figur kunci dalam mendorong perkembangan dan kemajuan sekolah. Kepala madrasah tidak hanya meningkatkan tanggung jawab dan otoritasnya dalam program-program sekolah, kurikulum dan keputusan personil, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan akuntabilitas keberhasilan siswa dan programnya. Kepala madrasah harus pandai memimpin kelompok dan mampu melakukan pendelegasian tugas dan wewenang. Tidak semua pekerjaan harus dikerjakan sendiri oleh kepala madrasah, tetapi ia dapat memberikan sebagian wewenangnya kepada bawahannya yang layak diberi tugas tertentu.

Menurut Wohlstetter dan Mohrman[xlv] peran kepala madrasah dalam MBS adalah sebagai designer, motivator, fasilitator, dan liaison. Sebagai designer kepala madrasah harus membuat rencana dengan memberikan kesempatan untuk terciptanya diskusi-diskusi menyangkut isu-isu dan permasalahan di seputar sekolah dengan tim pengambil keputusan sekolah. Tentu saja dalam hal ini harus melibatkan berbagai komponen terkait secara demokratis.


[i]James L Gibson, , et . all., Organisasi Perilaku, Struktur, Proses, Alih bahasa : Djarkasih, (Jakarta : Erlangga, 1988), h. 334

[ii]Keith Davis, and John W. Newstrom. Human Behaviour at Work : Organizational Behaviour. (New York Mc. Graw-Hill Inc., 1985), h. 122

[iii]James L. Gibson, dkk,., Op. Cit, h. 342

[iv]Victor H. Vroom dan Jago, Arthur G. The New Leadership: Managing Participation in Organizations. Englewood Cliffs, (New Jersey: Prentice Halls, 1988). h. 34

[v]Mustopadidjaja, Beberapa dimensi dan Dinamika Kepemimpinan Abad 21, dalam aparaturnegara.bappenas.go.id/.../Pelayanan%20Publik/Dimensi%20&%20Dinamika%20KEPIM%20ABAD%2021.pdf, diakses 22 April 2008.

[vi]Ibid.

[vii]Ibid.

[viii]Michael Zwell, Creating a Culture of Competency, (New York, Wiley, 2000), h. 298

[ix]John P. Kotter, Leading Change. (Boston, MA: Harvard Business School Press 1996), h. 76

[x]Ibid, h. 124

[xi]Keith Davis, and John W. Newstrom, Op.Cit. h. 267

[xii]Sutarto, Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi ( Yogyakarta., Gadjah Mada University Press, 1991) h. 65

[xiii]Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991) h. 48

[xiv]Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 55

[xv]Sondang P. Siagian, Teori dan Praktek Kepemimpinan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), h. 40

[xvi]Ibid, h. 50

[xvii]Sondang P. Siagian, Op. Cit., h. 39-40

[xviii]Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 1996) h. 88.

[xix]M. Ngalim Purwanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta : Mutiara Sumber-Sumber Benih Kecerdasan, 1981) h. 37

[xx]Ibid, h. 38-39

[xxi]Mustopadidjaja, Op. Cit, h. 68

[xxii]Ibid., h. 73

[xxiii]http://elqorni.wordpress.com/2008/04/24/perkembangan-paradigma-kepemimpinan-gaya-tipologi-model-dan-teori-kepemimpinan/ diakses 2 Juli 2008

[xxiv]Ibid.

[xxv]Ibid.

[xxvi]Mustopadipraja, Op. Cit. h. 78

[xxvii]Ibid.

[xxviii]Ibid. h. 86

[xxix]Ibid.

[xxx]Soetjipto Wirosardjono, Dialog Dengan Kekuasaan, (Bandung : Mizan, 1993), h. 122

[xxxi]Warren G. Bennis, Burt Nanus, Leaders: Strategies for Taking Charge, (Colorado :Harper, 1985), h. 32

[xxxii]Mustopadipraja, Op. Cit. h. 87

[xxxiii]Ibid.

[xxxiv]www.geocities.com/triwidodowu/Bab3.rtf

[xxxv]Made Pidarta. Cara belajar di Universiti Negara Maju: Suatu studi kasus. (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), h. 75

[xxxvi]Made Pidarta, Landasan Kependidikan : Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, (Bandung : Rineka, 1997), h. 68

[xxxvii]Lipoto, Kepemimpinan Kepala madrasah, (Bandung : Tarsito, 1998),. h. 8

[xxxviii]Wahjosumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi, (Jakarta :Ghalia Indonesia,. 1987), h. 98

[xxxix]Departemen Pendidikan Nasional, Panduan KTSP, (Jakarta : Depdiknas, 2006) h. 345

[xl]Wahjosumidjo, Op. Cit., h. 129

[xli]Mulyasa, .. Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK. (Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya. 2004) h. 65

[xlii] Piet A.. Sahertian, Konsep dasar dan teknik supervisi pendidikan dalam rangka membangun sumberdaya manusia, (Jakarta: Rineka Cipta : 2000), h. 127

[xliii]Ngalim Purwanto, Supervisi Pendidikan. (Bandung. Remaja Rosda Karya. 1997), h. 34

[xliv]Willem Mantja, Manajemen Pendidikan dalam Era Reformasi (Malang : Universitas Negeri Malang, 2002), h. 87

[xlv] Wohlstetter, P., & Mohrman, S. A.. School-based management: Strategies for success [Online]. http://www.ed.gov/pubs/CPRE/fb2sbm.html akses tgl. 28 September 2007

Read More......

Rabu, 29 Oktober 2008

Kinerja Kepala Sekolah dengan Indikator EMASLIM

1. Pengertian Kinerja Kepala Sekolah
Kinerja dalam bahasa Inggeris disebut performance. Menurut Merriam-Webster Online Dictionary performance :
a: the execution of an action b: something accomplished : deed , feat 2: the fulfillment of a claim, promise, or request : implementation 3 a: the action of representing a character in a play b: a public presentation or exhibition 4 a: the ability to perform : efficiency b: the manner in which a mechanism performs 5: the manner of reacting to stimuli : behavior 6: the linguistic behavior of an individual : parole ; also : the ability to speak a certain language.1
Dari definisi tersebut di atas, dapat dilihat bahwa kinerja diartikan sebagai pelaksanaan pekerjaan, pemenuhan klaim, janji atau permintaan, tindakan mewujudkan suatu karakter dalam sebuah permainan, kemampuan untuk melaksanakan, dan cara untuk memperoleh atau menangapi.
Pengertian kinerja atau prestasi kerja diberi batasan oleh Maier dalam Muhammad As’ad sebagai kesuksesan seseorang di dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Lebih tegas lagt Lawler and Poter menyatakan bahwa kinerja adalah "succesfull role achievement" yang diperoleh seseorang dari perbuatanperbuatannya . Dari batasan tersebut As'ad menyimpulkan bahwa kinerja adalah hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan.
Menurut Veitzal Rivai kinerja adalah : “ merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan”.
Sedang Suprihanto dalam Srimulyo mengatakan bahwa kinerja atau prestasi kerja seorang karyawan pada dasarnya adaiah hasil kerja seseorang karyawan selama periode tertentu dibandingkan dengan kemungkinan, misalnya standar, target/sasaran atau kinerja yang telahditentukan terlebih dahulu dan telah di sepakati bersama.
Menurut Vroom dalam As'ad , tingkat sejauh mana keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan pekerjaannya discbut "level of performance". Biasanya orang yang level of performance-nyd tinggi disebul sebagai orang yang produktif, dan sebaliknya orang yang levelnya tidak mencapai standar dikatakan sebagai tidak produktif atau berperformance rendah. Penilaian kinerja adalah salah satu tugas penting untuk dilakukan oleh seorang manajer atau pimpinan. Walaupun demikian, pelaksanaan kinerja yang obyektif bukanlah tugas yang sederhana, Penilaian harus dihindarkan adanya "like dan lislike" dari penilai, agar obyektifitas penilaian dapat terjaga. Kegiatan penilaian ini anting, karena dapat digunakan untuk memperbaiki keputusankeputusan personalia ian memberikan umpan balik kepada para karyawan tentang kinerja mereka.
Kinerja dengan demikian dapat penulis simpulkan sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam melaksanaan tugas atau pekerjaan utamanya. Kinerja kepala Sekolah berarti tindakan, unjuk kerja dari kepala Sekolah dalam melaksanakan tugas dan perannya sebagai kepala Sekolah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kinerja kepala Sekolah adalah hasil kerja dari kepala Sekolah dalam memimpin unit pendidikan berupa sekolah. Kinerja kepala Sekolah dapat dilihat dari berbagai aspek, dan yang paling penting adalah kinerjanya dalam pelaksanakan belajar mengajar yang dapat dikukur dari hasil prestasi belajar siswa
Menurut T. Hani Handoko dalam Thoyib ada enam metode penilaian kinerja, yaitu:
1. Rating Scale, evaluasi hanya didasarkan pada pendapat penilai, yang membandingkan hasil pekerjaan karyawan dengan kriteria yang dianggap penting bagi pelaksanaan kerja.
2. Checklist, yang dimaksudkan dengan metode ini adalah untuk mengurangi beban penilai. Penilai tinggal memilih kalimat-kalimal atau kata-kata yang menggambarkan kinerja karyawan. Penilai biasanya atasan langsung. Pemberian bobot sehingga dapat di skor. Metode ini bisa memberikan suatu gambaran prestasi kerja secara akurat, bila daftar penilaian berisi item-item yang memadai.
3. Metode peristiwa kritis (critical incident method), penilaian yang berdasarkan catatan-catatan pemlai yang menggambarkan perilaku karyawan sangat baik atau jelek dalam kaitannya dengan pelaksanaan kerja. Catatan-catatan ini disebut peristiwa kritis. Metode ini sangat berguna dalam memberikan umpan balik kepada karyawan, dan mengurangi kesalahan kesan terakhir.
4. Metode peninjauan lapangan (field review method), seseorang ahli departemen main lapangan dan membantu para penyelia dalam penilaian mereka. Spesialis personalia mendapatkan informasi khusus dari atasan langsung tentang kinerja karyawan. Kemudian ahli itu mempersiapkan evaluasi atas dasar informasi tersebut. Evaluasi dikirim kepada penyelia untuk di review, perubahan, persetujuan dan perubahan dengan karyawan yang dinilai. Spesialis personalia bisa mencatat penilaian pada tipe formulir penilaian apapun yang digunakan perusahaan.
5. Tes dan observasi prestasi kerja, bila jumlah pekerja terbatas, penilaian prestasi kerja bisa didasarkan pada tes pengetahuan dan ketrarnpilan. Tes mungkin tertulis atau peragaan ketrampilan. Agar berguna tes harus reliable dan valid. Metode evaluasi kelompok ada tiga: ranking, grading, point allocation method.
6. Method ranking, penilai membandingkan satu dengan karyawan lain siapa yang paling baik dan menempatkan setiap karyawan dalam urutan terbaik sampai terjelek. Kelemahan metode ini adalah kesulitan untuk menentukan faktor-faktor pembanding, subyek kesalahan kesan terakhir dan halo effect, kebaikannya menyangkut kemudahan administrasi dan penjelasannya. Grading, metode penilaian ini memisah-misahkan atau menyortir para karyawan dalam berbagai klasifikasi yang berbeda, biasanya suatu proposi tertentu harus diletakkan pada setiap kategori. Point location, merupakan bentuk lain dari grading penilai diberikan sejumlah nilai total dialokasikan di antara para karyawan dalam kelompok. Para karyawan diberi nilai lebih besar dan pada para karyawan dengan kinerja lebih jelek. Kebaikan dari rnetode ini, penilai dapat mengevaluasi perbedaan relatif di antara para karyawan, meskipun kelemahan-kelemahan efek halo (halo effect) dan bias kesan terakhir masih ada.
Mengenai manfaat penilaian kinerja, Handoko dalam Srimulyomengemukakan terdapat sepuluh manfaat sebagai berikut :
1. Perbaikan prestasi kerja atau kinerja.
Umpan balik pelaksanaan kerja mernungkinkan karyawan, manajer dan departemen personalia dapat memperbaiki kegiatan-kegiatan mereka untuk meningkatkan prestasi.
2. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi.
Evaluasi prestasi keja membantu para pengambil keputusan dalam mcnentukan kenaikan upah, pemberian bonus dan bentuk kompensasi iainnya.
3. Keputusan-keputusan penempatan.
Promosi dan transfer biasanya didasarkan atas prestasi kerja atau kinerja masa lalu atau antisipasinya.
4. Perencanaan kebutuhan latihan dan pengembangan.
Prestasi kerja atau kinerja yang jelek mungkin menunjukkan perlunya latihan. Demikian pula sebaliknya, kinerja yang baik mungkin mencerminkan potensi yang harus dikembangkan.
5. Perencanaan dan pengembangan karir.
Umpan balik prestasi mengarahkan keputusan-keputusan karir, yaitu tentang jalur karir tertentu yang harus diteliti.
6. Mendeteksi penyimpangan proses staffing.
Prestasi kerja yang baik atau buruk adaiah mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing departemen personalia.
7. Melihat ketidak akuratan informasional.
Prestasi kerja yanng jelek mungkin menunjukkan kesalahan-kesalahan dalam informasi analisis jabatan, rencana sumberdaya manusia, atau komponen-komponen lain system informasi manajemcn personalia. Menggantungkan pada informasi yang tidakakurat dapat rnenyebabkan keputusan-kcpulusan personalia tidak tepat.
8. Mendeteksi kesalahan-kesalahan desain pekerjaan.
Prestasi kerja yang jelek mungkin merupakan tanda kesalahan dalam desain pekerjaan. Penilaian prestasi membantu diagnosa kesalahan-kesalahan tersebut.
9. Menjamin kesempatan kerja yang adil.
Penilaian prestasi kerja yang akurat akan menjamin keputusan-keputusan penempatan internal diambil tanpa diskriminasi.
10. Melihat tantangan-tantangan ekternal.
Kadang-kadang prestasi seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar lingkungan kerja, seperti keluarga, kesehatan, dan masalah-masalah pribadi lainnya.
2. Indikator Kinerja Kepala Sekolah
Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya. Namun, jika kita selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung dari setiap jenis kompetensi, –sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun dalam perspektif kebijakan pemerintah-, kiranya untuk menjadi guru yang kompeten bukan sesuatu yang sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala Sekolah. Kepala Sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja personel, terutama meningkatkan kompetensi profesional guru. Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional di sini, tidak hanya berkaitan dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi kandungan kompetensi guru dalam proses belajar mengajar. Kinerja Kepala Sekolah dalam proses pembinaan guru tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam keberhasilan proses belajar mengajar.
Untuk melihat kinerja kepala Sekolah, maka dapat dilihat berdasarkan indikator EMASLIM, yakni kepala Sekolah sebagai :
1. Edukator
2. Manager
3. Administrator
4. Supervisor
5. Leader
6. Inovator dan
7. Motivator
Ad. 1 Kepala Sekolah Sebagai Edukator
Samsul Nizar dikutip oleh Aprianto mendefenisikan bahwa edukator atau pendidik adalah orang yang bertanggungjawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaan (baik sebagai khalifah fi al-ardh maupun abd) sesuai dengan. nilai-nilai ajaran Islam. Dalam konteks ini menurut Samsul Nizar, pendidik bukan hanya sebatas bertugas di sekolah (Sekolah) tetapi orang yang terlibat dalam proses pendidikan anak, mulai dari alam rahim (kandungan ibu) sampai meninggal dunia.
Edukator atau pendidik menurut Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan roses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan platihan, erta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Edukator bertugas mengarahkan dan mentransformasi pengetahuan yang dimilikinya kepada peserta didiknya, guna mengarahkannya mencapai sesuatu yang bermakna. Dalam kaitan itu seorang pendidik dituntut untuk memiliki kualifikasi dan kompetensi akademis yang memadai, dalam Permendiknas Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dalam pasal 28 disebutkan bahwa, Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki tujuan pendidikan . Lebih lanjut dalam pasal 30 dijelaskan, seorang pendidik harus memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran, kompetensi tersebut meliputi, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi propfesional dan kompetensi sosial
Selaras dengan itu edukator juga memiliki tanggungjawab yang cukup besar untuk mengetahui sejauh mana anak didiknya bersikap dan ber-afiliasi dengan teman - teman nya yang lain, dalam hal ini aspek Afektif menjadi harga mati dari sebuah proses pendidikan. walapun tetap harus memperhatikan ranah Kognitif dan Psikomotoriknya. Walaupun dalam prakteknya sering terjaid antithesis dalam wilayah Afektif dan Kognitif, yang terjadi adalah Pendidik seolah - olah menjadi orang yang paling berkuasa dikelasnya, komunikasi timbal balik tidak berjalan sebagaimana mestinya, penekanan aspek verbal menjadi tuntutan pendidik. Sehingga pencapaian Asessment hanya dilihat dari aspek skor dan nilai dari peserta didik.
Hal tersebut secara tidak langsung akan mematikan kreatifitas Peserta didik untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Perlu untuk di garis bawahi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi alamiah yang berbeda-beda yang jika dipaksakan terhadap sesuatu hal akan menganggu kejiwaannya. Artinya adalah memberikan mereka kebebasan untuk berkreatifitas dan menunjukan kemampuan terbaiknya merupakan uregensi seorang Pendidik.
Sejatinya, seorang pendidik mengarahkan peserta didik untuk lebih mengeksplorasi aspek afektifnya. Pembinaan mental dan sikap merupakan peran utama seoang pendidik yang harus benar-benar berfungsi dengan baik. Sehingga peserta didik akan tumbuh menjadi manusia yang sadar nilai dan mampu menempatkan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang Agung yang tidak berbuat sesuka hati dan menempatkan nilai dan moral diatas segalanya.
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala Sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.
Kepala Sekolah sebagai pendidik dan tenaga kependidikan mempunyai peran yang sangat besar dalam mendukung peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Peran kepala Sekolah dalam mengembangkan suasana sekolah yang nyaman dan kondusif bagi proses belajar mengajar melalui pengelolaan manajerial yang profesional merupakan kebutuhan utama suatu sekolah untuk meraih prestasi dalam rangka menghasilkan sumberdaya manusia unggul yang berdaya-saing.
Dari paparan di atas, maka indikator dari kepala Sekolah sebagai edukator melaksanakan hal-hal sebagai berikut :
1. Kepala Sekolah mampu memimbing guru dalam menyusun program pengajaran.
2. Kepala Sekolah memimbing guru dalam melaksanakan program pengajaran
3. Kepala Sekolah memimbing guru mengevaluasi hasil belajar siswa
4. Kepala Sekolah memimbing guru melaksanakan program pengayaan dan remedial
5. Kepala Sekolah membimbing karyawan dalam menyusun program kerja
6. Kepala Sekolah membimbing karyawan dalam melaksanakan tugas sehari-hari
7. Kepala Sekolah membimbing siswa dalam kegiatan ekstra kurikuler
8. Kepala Sekolah melakukan pengembangan staf(guru) melalui pendidikan dan pelatihan
9. Kepala Sekolah melakukan pengembangan staf/guru melalui pertemuan sejawat
10. Kepala Sekolah melakukan pengembangan staf dengan mengikutkan staf dalam seminar, diskusi, dan sejenisnya
11. Kepala Sekolah mengusulkan kenakan pangkat guru dan staf secara periodik seduai dengan kondisi kepangkatan guru dan karyawan
12. Kepala Sekolah selalu mengikuti perkembangan iptek melalui pendidikan dan pelatihan atau melalui seminar/diskusi atau pertemuan MGMP
Ad. 2 Kepala Sekolah Sebagai Manager
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala Sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala Sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, –seperti : MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya–, atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti : kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.
Tugas manajer pendidikan adalah merencanakan sesuatu atau mencari strategi yang terbaik, mengorganisasi dan mengkoordinasi sumber-sumber pendidikan yang masih berserakan agar menyatu dalam melaksanakan pendidikan, dan mengadakan kontrol terhadap pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kepala Sekolah memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan, karena atas perannya sebagai manajer di sekolah dituntut untuk mampu : (1) mengadakan prediksi masa depan sekolah, misalnya tentang kualitas yang diinginkan masyarakat, (2) melakukan inovasi dengan mengambil inisiatif dan kegiatan-kegiatan yang kreatif untuk kemajuan sekolah, (3) menciptakan strategi atau kebijakan untuk mensukseskan pikiran-pikiran yang inovatif tersebut, (4) menyusun perencanaan, baik perencanaan strategis maupun perencanaan operasional, (5) menemukan sumber-sumber pendidikan dan menyediakan fasilitas pendidikan, (6) melakukan pengendalian atau kontrol terhadap pelaksanaan pendidikan dan hasilnya.
Sesuai dengan peran dan tugas-tugas di atas, kepala Sekolah sebagai manajer sekolah dituntut untuk dapat menciptakan manajemen sekolah yang efektif. Menurut Mantja , keefektifan manajemen pendidikan ditentukan oleh profesionalisme manajer pendidikan. Adapun sebagai manajer terdepan kepala Sekolah merupakan figur kunci dalam mendorong perkembangan dan kemajuan sekolah. Kepala Sekolah tidak hanya meningkatkan tanggung jawab dan otoritasnya dalam program-program sekolah, kurikulum dan keputusan personil, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan akuntabilitas keberhasilan siswa dan programnya. Kepala Sekolah harus pandai memimpin kelompok dan mampu melakukan pendelegasian tugas dan wewenang
Seorang kepala Sekolah, di samping harus mampu melaksanakan proses manajemen yang merujuk pada fungsi-fungsi manajemen, juga dituntut untuk memahami sekaligus menerapkan seluruh substansi kegiatan pendidikan. Wayan Koster mengemukakan bahwa dalam konteks MPMBS, kepala Sekolah dituntut untuk memiliki kemampuan: (1) menjabarkan sumber daya sekolah untuk mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar, (2) kepala administrasi, (3) sebagai manajer perencanaan dan pemimpin pengajaran, dan (4) mempunyai tugas untuk mengatur, mengorganisir dan memimpin keseluruhan pelaksanaan tugas-tugas pendidikan di sekolah. Dikemukakan pula bahwa sebagai kepala administrasi, kepala Sekolah bertugas untuk membangun manajemen sekolah serta bertanggungjawab dalam pelaksanaan keputusan manajemen dan kebijakan sekolah.
Sementara itu, menurut pendapat Sanusi yang dikutip M. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir bahwa :
Perubahan dalam peranan dan fungsi sekolah dari yang statis di jaman lampau kepada yang dinamis dan fungsional-konstruktif di era globalisasi, membawa tanggung jawab yang lebih luas kepada sekolah, khususnya kepada administrator sekolah. Pada mereka harus tersedia pengetahuan yang cukup tentang kebutuhan nyata masyarakat serta kesediaan dan keterampilan untuk mempelajari secara kontinyu perubahan yang sedang terjadi di masyarakat sehingga sekolah melalui program-program pendidikan yang disajikannya dapat senantiasa menyesuaikan diri dengan kebutuhan baru dan kondisi baru .

Diisyaratkan oleh pendapat tersebut, bahwa kepala Sekolah sebagai salah satu kategori administrator pendidikan perlu melengkapi wawasan kepemimpinan pendidikannya dengan pengetahuan dan sikap yang antisipatif terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, termasuk perkembangan kebijakan makro pendidikan. Wujud perubahan dan perkembangan yang paling aktual saat ini adalah makin tingginya aspirasi masyarakat terhadap pendidikan, dan gencarnya tuntutan kebijakan pendidikan yang meliputi peningkatan aspek-aspek pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi dan relevansi.
Pada bagian lain, Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir dengan mengutip dari Dirawat mengemukakan tentang pemikiran Bogdan bahwa dalam perspektif peningkatan mutu pendidikan terdapat empat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin pendidikan, yaitu : (1) kemampuan mengorganisasikan dan membantu staf di dalam merumuskan perbaikan pengajaran di sekolah dalam bentuk program yang lengkap; (2) kemampuan untuk membangkitkan dan memupuk kepercayaan pada diri sendiri dari guru-guru dan anggota staf sekolah lainnya; (3) kemampuan untuk membina dan memupuk kerja sama dalam mengajukan dan melaksanakan program-program supervisi; dan (4) kemampuan untuk mendorong dan membimbing guru-guru serta segenap staf sekolah lainnya agar mereka dengan penuh kerelaan dan tanggung jawab berpartisipasi secara aktif pada setiap usaha-usaha sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan sekolah itu sebaik-baiknya.
Wildavsky sebagaimana dikutip Sudarwan Danim mengemukakan bahwa salah satu preposisi tentang kebijakan pendidikan bagi kepala Sekolah atau calon kepala Sekolah, bahwa “kompetensi minimal seorang kepala Sekolah adalah memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam bidang keadministrasian sekolah; keterampilan hubungan manusiawi dengan staf, siswa dan masyarakat, dan keterampilan teknis instruksional dan non instruksional.”
Hal serupa dikemukakan oleh Kantz dalam Segiovanni bahwa dalam keseluruhan mekanisme kerja manajemen sekolah sebagai proses sosial, mengemukan tiga jenis keterampilan yang seyogyanya dimiliki oleh kepala Sekolah, yaitu : (1) keterampilan teknis, yakni keterampilan yang berhubungan dengan pengetahuan, metode, dan teknik-teknik tertentu dalam menyelesaikan tugas-tugas tertentu; (2) keterampilan manusiawi yakni keterampilan yang menunjukkan kemampuan seorang manajer di dalam bekerja dengan orang lain secara efektif dan efisien; (3) keterampilan konseptual yakni keterampilan yang berkenaan dengan cara kepala Sekolah memandang sekolah, keterkaitan sekolah dengan struktur di atasnya dan dengan pranata-pranata kemasyarakatan, serta program kerja sekolah secara keseluruhan.
Dilain pihak, Fred Luthans mengemukakan lima jenis keterampilan yang dibutuhkan oleh seorang manajer, yang mencakup : (1) Cultural flexibility; (2) Communication skills (3) Human Resources Development skills ; (4) Creativity ; dan (5) Self Management of learning . Kelima keterampilan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Cultural flexibility merupakan keterampilan yang merujuk kepada kesadaran dan kepekaan budaya, di mana seorang manajer dituntut untuk dapat menghargai nilai keberagaman kultur yang ada di dalam organisasinya. Kepala Sekolah selaku manajer di sekolah sangat mungkin akan dihadapkan dengan warga sekolah, dengan latar kultur yang beragam, baik guru, tenaga administrasi maupun siswa. Oleh karenanya, kepala Sekolah diuntut untuk dapat menghargai keberagaman kultur ini.
Communication skill merupakan keterampilan manajer yang berkenaan dengan kemampuan untuk berkomunikasi, baik dalam bentuk lisan, tulisan maupun non verbal. Keterampilan komunikasi amat penting bagi seorang kepala Sekolah, karena hampir sebagian besar tugas dan pekerjaan kepala Sekolah senantiasa melibatkan dan berhubungan orang lain. Komunikasi yang efektif akan sangat membantu terhadap keberhasilan organisasi secara keseluruhan.
Human Resources Development skills merupakan keterampilan manajer yang berkenaan dengan pengembangan iklim pembelajaran (learning climate), mendesain program pelatihan, pengembangan informasi dan pengalaman kerja, penilaian kinerja, penyediaan konseling karier, menciptakan perubahan organisasi, dan penyesuaian bahan-bahan pembelajaran. Dalam perspektif persekolahan, kepala Sekolah dituntut untuk memiliki keterampilan dalam mengembangkan sumber daya manusia yang tersedia di sekolahnya, sehingga mereka benar-benar dapat diberdayakan dan memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan pendidikan di sekolah

Creativity merupakan keterampilan manajer yang tidak hanya berkenaan dengan pengembangan kreativitas dirinya sendiri, akan tetapi juga keterampilan untuk menyediakan iklim yang mendorong semua orang untuk menjadi kreatif. Sehubungan dengan hal ini, seorang kepala Sekolah dituntut untuk memiliki keterampilan dalam menciptakan iklim kreativitas di lingkungan sekolah yang mendorong seluruh warga sekolah untuk mengembangkan berbagai kreativitas dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya.
Self- management of learning merupakan keterampilan manajer yang merujuk kepada kebutuhan akan belajar yang berkesinambungan untuk mendapatkan berbagai pengetahuan dan keterampilan baru. Dalam hal ini, kepala Sekolah dituntut untuk senantiasa berusaha memperbaharui pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Dari uraian di atas, maka selaku manajer Sekolah, idealnya :
1. Kepala Sekolah memiliki program kerja jangka panjang
2. Kepala Sekolah memiliki program jangka menengah
3. Kepala Sekolah memiliki program jangka pendek
4. Kepala Sekolah membuat struktur organisasi/personalia di sekolah
5. Kepala Sekolah membentuk tim/kepanitiaan dalam kegiatan sekolah
6. Kepala Sekolah memberikan arahan kepada staf/guru
7. Kepala Sekolah melakukan koordinasi dengan staf dalam kegiatan pengajaran
8. Kepala Sekolah mendayagunakan secara maksimal dan adil terhadap semua staf yang ada
9. Kepala Sekolah memanfaatkan sarana dan prasarana milik sekolah dengan optimal dan benar untuk kepentingan sekolah
10. Kepala Sekolah peduli terhadap perawatan sarana/prasarana milik sekolah
11. Kepala Sekolah mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada guru atau wakil kepala Sekolah
12. Kepala Sekolah dapat bekerjasama dengan para wakil kepala Sekolah
13. Kepala Sekolah dapat bekerjasama dengan guru
Ad 3. Kepala Sekolah Sebagai Administrator
Kepala Sekolah sebagai administrator dalam lembaga pendidikan mempunyai tugas-tugas antara lain : melakukan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan terhadap bidang-bidang seperti ; kurikulum, kesiswaan, kantor, kepegawaian, perlengkapan, keuangan, dan perpustakaan. Jadi kepala Sekolah harus mampu melakukan; (1) pengelolaan pengajaran; (2) pengelolaan kepegawaian; (3) pengelolaan kesiswaan; (4) pengelolaan sarana dan prasarana; (5) pengelolaan keuangan dan; (6) pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat.
Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala Sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.
Menurut penulis, indikator dari pelaksanaan pelaksanaannya sebagai administrator adalah :
1. Kepala Sekolah mampu mengelola administrasi KBM dan kelengkapan data KBM
2. Kepala Sekolah memiliki kemampuan mengelola administrasi kesiswaan
3. Kepala Sekolah memiki data administrasi staf lengkap
4. Kepala Sekolah memiliki data administrasi keuangan rutin
5. Kepala Sekolah memiliki data administrasi keuangan OPF
6. Kepala Sekolah memiliki data administrasi keuangan SPP
7. Kepala Sekolah memiliki data administarasi keuangan BP3
8. Kepala Sekolah memiliki kelengkapan data surat-menyurat
Ad. 4. Kepala Sekolah Sebagai Supervisor
Supervisi merupakan kegiatan membina dan dengan membantu pertumbuhan agar setiap orang mengalami peningkatan pribadi dan profesinya. Menurut Sahertian , supervisi adalah usaha memberi layanan kepada guru-guru baik secara individual maupun secara berkelompok dalam usaha memperbaiki pengajaran dengan tujuan memberikan layanan dan bantuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang dilakukan guru di kelas.
Supervisi merupakan pengembangan dan perbaikan situasi belajar mengajar yang pada akhirnya perkembangan siswa. Itu perbaikan situasi belajar mengajar bertujuan untuk : (1) menciptakan, memperbaiki, dan memelihara organisasi kelas agar siswa dapat mengembangkan minat, bakat, dan kemampuan secara optimal, (2) menyeleksi fasilitas belajar yang tepat dengan problem dan situasi kelas, (3) mengkoordinasikan kemauan siswa mencapai tujuan pendidikan, (4) meningkatkan moral siswa.
Lebih lanjut Ngalim Purwanto mengemukakan bahwa supervisi ialah suatu aktivitas pembinaan yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan sekolah maupun guru, oleh karena itu program supervisi harus dilakukan oleh supervisor yang memiliki pengetahuan dan keterampilan mengadakan hubungan antar individu dan ketrampilan teknis.
Supervisor di dalam tugasnya bukan saja mengandalkan pengalaman sebagai modal utama, tetapi harus diikuti atau diimbangi dengan jenjang pendidikan formal yang memadai. Beberapa paparan di atas dapat disimpulkan bahwa kepala Sekolah merupakan penyelenggara pendidikan yang juga, yaitu : (1) menjadi manajer lembaga pendidikan, (2) menjadi pemimpin, (3) sebagai penggerak lembaga pendidikan, (4) sebagai supervisor atau pengawas, (5) sebagai pencipta iklim bekerja dan belajar yang kondusif.
Idikator dari pelaksanaan supervisi tersebut antara lain adalah :
Kepala Sekolah memiliki program supervisi kelas
Kepala Sekolah memiliki program supervisi kegiatan ekstrakurikuler
Kepala Sekolah memiliki program supervisi ujian, kegiatan perpustakaan dan sejenisnya
1. Kepala Sekolah melakukan kegiatan supervisi kelas
2. Kepala Sekolah melakukan kegiatan supervisi dadakan (SIDAK)
3. Kepala Sekolah melakukan kegiatan supervisi kegiatan ekstrakurikuler
4. Kepala Sekolah memanfaatkan hasil supervisi untuk peningkatan kinerja guru/karyawan
5. Kepala Sekolah melakukan supervisi terhadap kegiatan ujian
Ad. 5. Kepala Sekolah Sebagai Leader
Gaya kepemimpinan kepala Sekolah seperti apakah yang dapat menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi guru ? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala Sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada.
Hal senada dikatakan Wahjosumidjo peran kepala Sekolah sebagai pemimpin sekolah memiliki tanggung jawab menggerakkan seluruh sumberdaya yang ada di sekolah sehingga melahirkan etos kerja dan produktivitas yang tinggi dalam mencapai tujuan. Hick, dalam Wahjosumido, berpendapat bahwa untuk dapat menjadi pemimpin sekolah yang baik, kepala Sekolah harus : (1) adil, (2) mampu memberikan sugesti (suggesting), (3) mendukung tercapainya tujuan (supplying objectives), (4) mampu sebagai katalisator, (5) menciptakan rasa aman (providing security), (6) dapat menjadi wakil organisasi (representing), (7) mampu menjadi sumber inspirasi (inspiring), (8) bersedia menghargai (prising).
Dalam pelaksanaannya, keberhasilan kepemimpinan kepala Sekolah, sangat dipengaruhi hal-hal sebagai berikut: (1) Kepribadian yang kuat; kepala Sekolah harus mengembangkan pribadi agar percaya diri, berani, bersemangat, murah hati, dan memiliki kepekaan sosial. (2) Memahami tujuan pendidikan dengan baik; pemahaman yang baik merupakan bekal utama kepala Sekolah agar dapat menjelaskan kepada guru, staf dan pihak lain serta menemukan strategi yang tepat untuk mencapainya. (3) Pengetahuan yang luas; kepala Sekolah harus memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas tentang bidang tugasnya maupun bidang yang lain yang terkait. (4) Keterampilan professional yang terkait dengan tugasnya sebagai kepala Sekolah, yaitu: (a) keterampilan teknis, misalnya: teknis menyusun jadwal pelajaran, memimpin rapat. (b) keterampilan hubungan kemanusiaan, misalnya : bekerjasama dengan orang lain, memotivasi, guru dan staf (c) Keterampilan konseptual, misalnya mengembangkan konsep pengembangan sekolah, memperkirakan masalah yang akan muncul dan mencari pemecahannya.
Dalam masalah ini Wahjosumidjo berpendapat, bagi kepala Sekolah yang ingin berhasil menggerakkan para guru/staf dan para siswa agar berperilaku dalam mencapai tujuan sekolah adalah: (1) menghindarkan diri dari sikap dan perbuatan yang bersifat memaksa atau bertindak keras terhadap guru, staf dan para siswa; (2) harus mampu melakukan perbuatan yang melahirkan kemauan untuk bekerja dengan penuh semangat dan percaya diri terhadap para guru, staf dan siswa, dengan cara meyakinkan dan membujuk. Meyakinkan (persuade) dilakukan dengan berusaha agar para guru, staf dan siswa percaya bahwa apa yang dilakukan adalah benar. Sedangkan membujuk (induce) adalah berusaha meyakinkan para guru, staf dan siswa bahwa apa yang dilakukan adalah benar. Pemimpin yang efektif selalu memanfaatkan kerjasama dengan para bawahan untuk mencapai cita-cita organisasi
Disamping itu menurut Mulyasa , kepala Sekolah yang efektif adalah kepala Sekolah yang; (1) mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar dan produktif; (2) dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan; (3) mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan; (4) berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah; (5) bekerja dengan tim manajemen; (6) berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Indikator dari peran kepala Sekolah sebagai leader adalah :
1. Kepala Sekolah memiliki kepribadian yang jujur
2. Kepala Sekolah memiliki kepribadian yang percaya diri
3. Kepala Sekolah memiliki kepribadian yang bertanggungjawab
4. Kepala Sekolah memiliki kepribadian yang berjiwa beasar
5. Kepala Sekolah memahami kondisi guru dan karyawan
6. Kepala Sekolah memahami kondisi siswa
7. Kepala Sekolah memiliki visi MTsN yang dipimpinnya
8. Kepala Sekolah memahami misi yang diemban sekolah
9. Kepala Sekolah mampu mengambil keputusan untuk urusan intern sekolah dengan baik
10. Kepala Sekolah mampu mengambil keputusan untuk urusan ekstern sekolah dengan baik
11. Kepala Sekolah mampu berkomunikasi secara lisan dengan baik dengan guru dan karyawan serta siswa
12. Kepala Sekolah mampu berkomunikasi secara tertulis dengan baik
13. Kepala Sekolah mampu menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan dengan baik
14. Untuk meningkatkan prestasi belajar siswa, kepala Sekolah bertindak demokratis dalam mengarahkan guru dan menerima masukan-masukan yang positif dari guru
15. Kepala Sekolah selalu mendiskusikan upaya peningkatan mutu belajar-mengajar dengan dewan guru
16. Kepala Sekolah mau menerima masukan dari dewan guru dalam hal peningkatan prestasi belajar siswa
Ad 6. Kepala Sekolah sebagai Inovator
Kepala Sekolah sebagai Inovator adalah pribadi yang dinamis dan kreatif, yang tidak terjebak pada suatu rutinitas pekerjaan sehari-hari. Sebagai inovator kepala Sekolah harus mampu menemukan inovasi-inovasi baru dalam pembelajaran. Pribadi yang inovator harus melakukan upaya-upaya :
• Kemampuan menemukan gagasan – gagasan baru/kekinian sesuai dengan perkembangan lingkungan internal dan eksternal, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan peserta didik
• Melakukan pembaharuan di sekolah. Pembaharuan dalam hal kegiatan belajar mengajar, ekstra kurikuler, pembinaan guru, staf dan siswa dan lain-lain
Pengembangan profesi tenaga pendidik pada dasarnya hanya akan berhasil dengan baik apabila dampaknya dapat menumbuhkan sikap inovatif. Sikap inovatif ini kan makin memperkuat kemampuan profesional tenaga pendidik, untuk itu menurut Prof Idochi diperlukan tujuh pelajar guna mendorong tenaga pendidik bersikaf inovatif serta dapat dan mau melakukan inovasi, ketujuh pelajaran itu adalah sebagai berikut :
1. Belajar kreatif
2. Belajar seperti kupu-kupu
3. Belajar keindahan dunia dan indahnya jadi pendidik
4. Belajar mulai dari yang sederhana dan konkrit
5. Belajar rotasi kehidupan
6. Belajar koordinasi dengan orang profesional
7. Belajar ke luar dengan kesatuan fikiran

Tujuh pelajaran sebagaimana dikemukakan di atas merupakan pelajaran penting bagi tenaga pendidik dalam upaya mengembangkan diri sendiri menjadi orang profesional. Dalam kaitan ini, ketujuh pelajaran tersebut membentuk suatu keterpaduan dan saling terkait dalam membentuk tenaga pendidik yang profesional dan inovatif.
Belajar kreatif adalah belajar dengan berbagai cara baru untuk mendapatkan pengetahuan baru, belajar kreatif menuntut upaya-upaya untuk terus mencari, dan dalam hal ini bercermin pada kupu-kupu amat penting, mengingat kupu-kupu selalu peka dengan sari yang ada pada bunga serta selalu berupaya untuk mencari dan menjangkaunya. Dengan belajar yang demikian, maka sekaligus juga belajar tentang keindahan dunia, dan bagian dari keindahan dunia ini adalah keindahaan indahnya jadi pendidik. Pendidik adalah perancang masa depan siswa, dan sebagai perancang yang profesional, maka tenaga pendidik menginginkan dan berusaha untuk membentuk peserta didik lebih baik dan lebih berkualitas dalam mengisi kehidupannya di masa depan.
Untuk dapat melakukan hal tersebut di atas, maka tenaga pendidik perlu memulainya dariyang kecil dan konkrit, dengan tetap berfikir besar. Mulai dari yang kecil pada tataran mikro melalui pembelajaran di kelas, maka guru sebagai tenaga pendidik sebenarnya sedang mengukir mas depan manusia, masa depan bangsa, dan ini jelas akan menentukan kualitas kehidupan manusia di masa yang akan datang. Dalam upaya tersebut pendidik juga perlu menyadari bahwa dalam kehidupan selalu ada perputaran atau rotasi, kesadaran ini dapat menumbuhkan semangat untuk terus berupaya mencari berbagai kemungkanan untuk menjadikan rotasi kehidupan itu sebagai suatu hikmah yang perlu disikapi dengan upaya yang ebih baik dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik.
Dalam upaya untuk memperkuat ke profesionalan sebagai tenaga pendidik, maka diperlukan upaya untuk selalu berhubungan dan berkoordinasi dengan orang profesioanal dalam berbagai bidang, khususnya profesional bidang pendidikan. Dengan cara ini maka pembaharuan pengetahuan berkaitan dengan profesi pendidik akan terus terjaga melalui komunikasi dengan orang profesional, belajar koordinasi ini juga akan membawa pada tumbuhnya kesatuan fikiran dalam upaya untuk membengun pendidikan guna mengejar ketinggalan serta meluruskan arah pendidikan yang sesuai dengan nilai luhur bangsa.
Indikator dari pelaksaan tugas kepala Sekolah sebagai inovator adalah :
1. Kepala Sekolah mampu membuat gagasan baru untuk peningkatan mutu belajar mengajar
2. Kepala Sekolah mampu mengadopsi gagasan baru dari luar untuk peningkatan mutu belajar mengajar
3. Kepala Sekolah mampu melakukan pembaruan dalam KBM di sekolah
4. Kepala Sekolah mampu melakukan pembaharuan dalam kegiatan ekstra kurikuler
5. Kepala Sekolah mampu melakukan pembaharuan dalam perawatan dan pemeliharaan fasilitas
6. Kepala Sekolah mampu melakukan pembaharuan dalam pembinaan guru dan karyawan
Ad 7. Kepala Sekolah Sebagai Motivator
Motif adalah apa yang menggerakkan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu atau sekurang-kurangnya mengembangkan suatu kecenderungan tertentu. Motif dimengerti sebagai ungkapan kebutuhan seseorang karenannya motif bersifat pribadi dan internal. Dipihak lain, insentif berasal dari luar. Insentif dijadikan sebagai bagian lingkungan kerja oleh pimpinan untuk mendorong karyawan melakukan tugasnya. Misalnya, pimpinan menawarkan bonus bagi wiraniaga sebagai insentif untuk mendorong tercapainya tingkat penjualan yang lebih tinggi dan juga memenuhi kebutuhan wiraniaga akan pengakuan dan status.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Chester L. Barnard dalam Richard M. Steers sebagai berikut: Seseorang cenderung ikut serta dalam kegiatan organisasi hanya terbatas pada anggapan bahwa imbalan untuk bekerja yang mereka terima sebanding dengan usaha (kontribusi) mereka. Karena itu motivasi dan sasaran perseorangan dalam bekerja menjadi faktor yang penting dalam memahami tingkah laku manusia dan prestasi organisasi. Pendapat ini mengisyaratkan, bahwa seseorang mempunyai motif tertentu bekerja pada suatu organisasi ia akan beranggapan, bahwa kebutuhannya akan terpenuhi melalui organisasi.
Meskipun ada beberapa aktivitas manusia yang terjadi tanpa motivasi, namun hampir semua perilaku sadar mempunyai motivasi, atau sebab. Akhirnya, setiap orang akan tertidur tanpa motivasi (meskipun orang tua dengan anak kecil mungkin meragukan hal ini), tetapi pergi ke tempat tidur merupakan tindakan sadar yang memerlukan motivasi. Pekerjaan para manajer adalah mengidentifikasi dan menggerakkan motif pegawai untuk berprestasi baik dalam pelaksanaan tugas.
Bernard Berendoom dan Gary A Stainer dalam Sedarmayanti mendefinisikan motivasi adalah kondisi mental yang mendorong aktivitas dan memberi energi yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan memberi kepuasan atau mengurangi ketidak seimbangan . Hasibuan mendefinisikan motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau bekerja sama, efektif dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasan.
Richard M. Steers menyatakan motif dan tujuan perseorangan dapat berpengaruh penting terhadap tingkah laku seseorang dalam susunan organisasi. Karena kenyataan ini, kita wajib mengakui dan memperhitungkan sasaran perseorangan dalam setiap pembicaraan mengenai sasaran organisasi. Konsep sasaran organisasi yaitu sasaran yang ditetapkan untuk organisasi sebagai keseluruhan tidak akan berguna bagi manajemen bila tidak dapat dituangkan menjadi sasaran-sasaran tugas perseorangan yang dapat diterima oleh para pekerja. Jika, sasaran tugas bertentangan dengan kebutuhan sasaran perseorangan, dan jika manajemen tidak mau dan tidak dapat menciptakan daya tarik yang cukup untuk meredakan pertentangan tersebut, maka sulit dipercaya bahwa pekerja mau memberikan sumbangan ke arah pencapaian sasaran organisasi.
Selain itu peranan pimpinan dalam memberikan motivasi juga sangat penting dalam pelaksanaan tugas bawahan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, sebagaimana dikemukakan oleh Soekarno dalam Sedarmayanti, bahwa : Peran manajer sangat penting dan menentukan tinggi rendahnya prestasi, semangat tidaknya kerja bawahan sebagian besar tegantung kepada manajer. Di dalam arti, sampai sejauh mana manajer mampu menciptakan atau menimbulkan kegairahan kerja, di mana dibelakang ini sampai sejauh mana manajer mampu mendorong bawahan dapat bekerja sesuai denga kebijaksanaan dan program yang telah digariskan.
Konsepsi motivasi tidak terlepas dari kebutuhan manusia, artinya jika kebutuhan sesorang telah terpenuhi maka seseorang itu kan tergerak (mau) untuk melakukan sesuatu. Abraham Maslow dalam Soewarno Handayaningrat (1982:49) membagi kebutuhan manusia dalam hirarki kebutuhan, bahwa motivasi manusia berhubungan dengan lima kebutuhan, yaitu (1) kebutuhan fisik ( Physiological need ), (2) kebutuhan untuk memperoleh keamanan dan keselamatan (Security of Safety Need), (3) kebutuhan bermasyarakat (Social Need), (4) kebutuhan untuk memperoleh kehormatan (esteem need) (5) kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan (Self Actualization need).
Menurut Abraham Maslow, proses motivasi seseorang secara bertahap mengikuti pemenuhan kebutuhan, dari kebutuhan yang paling dasar hingga kebutuhan yang paling kompleks. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan dasar, yang bersifat primer dan vital, yang menyangkut fungsi-fungsi biologis seperti kebutuhan pangan, sandang dan papan, kesehatan fisik, seks, dan lain-lain. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan, seperti terjaminnya keamanan, terlindung dari bahaya dan ancaman penyakit, perang, kemiskinan, kelaparan, perlakuan tidak adil, dan lain sebagainya. Kebutuhan sosial, meliputi kebutuhan akan dicintai, diperhitungkan sebagai pribadi, diakui sebagai anggota kelompok, dan sebagainya. Kebutuhan akan penghargaan, termasuk kebutuhan dihargai karena prestasi, kemampuan, kedudukan, pangkat, dan sebagainya. Kebutuhan akan aktualisasi diri, seperti kebutuhan mempertinggi potensi yang dimiliki, pengembangan diri secara maksimum, kreatifitas, ekspresi diri, dan sebagainya. Kebutuhan tertinggi menurut Maslow adalah kebutuhan transenden, yaitu kebutuhan yang meliputi untuk berperilaku mulia, memberi arti bagi orang lain, terhadap sesama, terhadap alam, dan sebagainya.
Frederich Herberg dalam Sedarmayanti menyatakan : pada manusia berlaku faktor motivasi dan faktor pemeliharaan dilingkungan pekerjaanya. Dari hasil penelitiannya menyimpulkan adanya enam faktor motivasi yaitu (1) prestasi; (2) pengakuan; (3) kemajuan kenaikan pangkat; (4) pekerjaan itu sendiri; (5) kemungkinan untuk tumbuh; (6) tanggung jawab. Sedangkan untuk pemeliharaan terdapat sepuluh faktor yang perlu diperhatikan, yaitu (1) kebijaksanaa; (2) supervisi teknis; (3) hubungan antar manusia dengan atasan ; (4) hubungan manusia dengan pembinanya; (5) hubungan antar manusia dengan bawahannya; (6) gaji dan upah; (7) kestabilan kerja; (8) kehidupan pribadi; (9) kondisi tempat kerja; (10) status
Kepala Sekolah sebagai motivator harus mampu mendorong guru sebagaimana indiaktor motivasi yang dikemukakn oleh Maslow dan 10 (sepuluh) faktor lainnya sebagimana diuraikan di atas sebagai sumber motivasi dalam rangka meningkatkan semangat mengajarnya. Namun yang paling penting bagi seorang guru adalah motivasi yang dimulai dari dalam dirinya sendiri ( motivasi instrinsik ), sesuai dengan pendapat G.R Terry dalam Winardi bahwa “Motivasi yang paling berhasil adalah pengarahan diri sendiri oleh pekerja yang bersangkutan. Keinginan atau dorongan tersebut harus datang dari individu itu sendiri dan bukanlah dari orang lain dalam bentuk kekuatan dari luar”.
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala Sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan
Indikator dari pelaksanaan fungsi kepala Sekolah sebagai motivator antara lain adalah :
1. Kepala Sekolah mampu mendorong guru untuk meningkatkan motivasi kerja
2. Kepala madarasah memberikan rangsangan dan insentif terhadap guru yang berprestasi
3. Kepala Sekolah mampu mendorong siswa untuk lebih berprestasi.
4. Kepala Sekolah memiliki motivasi yang tinggi dalam pekerjaan
5. Kepala Sekolah dapat menggerakkan seluruh warga Sekolah untuk meningkatkan prestasi dalam kapasitasnya masing-masing
3. Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Kepala Sekolah
Kinerja kepala Sekolah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang melingkupinya dan masing-masing individu berbeda satu sama lain.. Secara garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor , yaitu : faktor individu dan situasi kerja. Faktor individu menentukan bagaimana ia dapat mengaktualisasikan dirinya dalam lingkungan pekerjaan, sementara faktor situasi kerja mempengaruhi bagaimana individu dapat mengaktualiasikan diri sesuai dengan lingkungan sekitarnya.
Menurut Gibson, et al dalam Srimulyo , ada tiga perangkat variabel yang mempengaruhi perilaku dan prestasi kerja atau kinerja, yaitu:
1. Variabel individual, terdiri dari:
a. Kemampuan dan ketrampilan: mental dan fisik
b. Latar belakang: keluarga, tingkat sosial, penggajian
c. demografis: umur, asal-usul, jenis kelamin.
2. Variabel organisasional, terdiri dari:
a. Sumberdaya
b. Kepemimpinan
c. Imbalan
d. Struktur
e. Desain pekerjaan.
3. Variabel psikologis, terdiri dari:
a. Persepsi
b. Sikap
c. Kepribadian
d. Belajar
e. Motivasi.
Ketiga variabel tersebut berhubungan satu sama lain dan saling pengaruh-mempengaruhi. Gabungan variabel individu, organisasi, dan psikologis sangat menentukan bagaimana seseorang mengaktualisasikan diri.
Menurut Tiffin dan Me. Cormick dalam Srimulyo , ada dua variabel yang dapat mempengaruhi kinerja, yaitu:
1. Variabel individual, meliputi: sikap, karakteristik, sifat-sifat fisik, minat dan motivasi, pengalaman, umur, jenis kelamin, pcndidikan, serta faktor individual lainnya.
2. Variabel situasional:
a. Faktor fisik dan pekerjaan, terdiri dari; metode kerja, kondisi dan desain perlengkapan kerja, penataan ruang dan lingkungan fisik (penyinaran, temperatur, dan fentilasi)
b. Faktor sosial dan organisasi, meliputi: peraturan-peraturan organisasi, sifat organisasi, jenis latihan dan pengawasan, sistem upah dan lingkungan sosial.
Sutemeister dalam Srimulyo mengemukakan pendapatnya, bahwa kinerja dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
1. Faktor Kemampuan
a. Pengetahuan : pendidikan, pengalaman, latihan dan minat
b. Ketrampilan : kecakapan dan kepribadian.
2. Faktor Motivasi
a. Kondisi social : organisasi formal dan informal, kepemimpinan dan
b. Serikat kerja kebutuhan individu : fisiologis, sosial dan egoistic
c. Kondisi fisik : lingkungan kerja.


Read More......
 
Terimakasih Atas Kunjungan Anda
Terimakasih Atas Kunjungan Anda