Ini mungkin pelajaran yang kudapat dari kegiatanku mengantar si bungsu berangkat ke sekolah setiap pagi. Kami melewati sebuah sungai buatan (kanal air) yang cukup besar. Arusnya tidak deras bahkan cenderung tidak terlihat mengalir. Air yang mengalir di sungai buatan itu berasal dari limbah rumah tangga komplek perumahan yang cukup banyak dibangun di sekitarnya.
Setiap pagi kami melihat beberapa orang dengan menggunakan jaring yang terbuat dari kain kassa menangkap jentik nyamuk yang memang sangat banyak di tempat tersebut. Jentik-jentik nyamuk yang mereka kumpulkan kemudian dijual ke pedangan makanan ikan hias untuk selanjutnya dijadikan santapan ikan-ikan hias yang cukup indah di akuarium.
Melihat peristiwa ini saya jadi ingat dengan terorisme. Saya membayangkan teroris itu seperti nyamuk yang berkembangbiak di selokan, kubangan air dan sungai keruh, beranak pinak dan ketika ia keluar akan menakuti kita dengan gigitannya, dengan malaria yang dibawanya, dengan DBD yang merajalela, dan segenap kengerian lainnya.
Dengan ancaman nyamuk tersebut, kita, lalu dengan segala cara dan program dilakukan untuk membasminya. Yang termurah dengan membeli kelambu, obat nyamuk, semprotan nyamuk, obat nyamuk eletrik, raket nyamuk dan bagi mereka yang punya kelebihan uang kita menggunakan peralatan gelombang elektromagnetik untuk menghalau nyamuk.
Tapi bagi mereka yang setiap pagi mencari jentik nyamuk, sarang nyamuk adalah hidup dan pencaharian mereka, jalan bagi mereka untuk memperoleh penghasilan atau uang untuk menghidupi keluarga. Bagi penujual makanan ikan hias, jentik nyamuk adalah komoditas yang harus tersedia setiap saat agar pelanggan tidak kecewa. Bagi pemilik ikan hias, jentik nyamuk adalah kebutuhan pokok agar ikan hias di akuariumnya yang mewah tetap sehat.
Terorisme ibarat nyamuk yang selalu mengancam kehidupan kita dan tidak pernah dapat kita habisi secara total, karena yang dibasmi adalah nyamuknya, bukan sarangnya. Memang kita sering berlebihan ketika membasmi nyamuk di rumah kita. Beberapa ekor nyamuk yang ada di rumah kita kita basmi dengan cara menyemprot seluruh sudut rumah sehingga kitapun dibuat menjadi tidak nyaman karenanya. Atau dengan membakat obat nyamuk yang asapnya sebenarnya menyesakkan kita.
Nyamuk seperti terorisme karena dengan adanya nyamuk menyebabkan proyek pembasmian sarang nyamuk yang melibatkan seluruh warga, pak RT, lurah, Camat, Bupati dan Gubernur serta lainnya. Pembasmian sarang nyamuk menjadi program yang tidak pernah berakhir karena setiap tahun korban masih selalu berjatuhan.
Nyamuk bagai teroris karena bagi kaum pinggiran, ia bukanlah ancaman. Karena nyamuk adalah kawan tidur mereka, tempat berbagi sedikit darah mereka, dan bahkan mereka kaum pinggiran merelakan dirinya mati karena ulah si nyamuk itu karena kepasrahan dan ketidakmampuan.
Nyamuk seperti terorisme menyebabkan pintu rumah kita diketuk setiap hari oleh sales dan penyedia jasa pembasmian nyamuk. Aneka produk dan media proteksi nyamuk dijajakan agar kita selalu membeli.
Nyamuk seperti terorisme menyebabkan produsen membuat dan menjajakan aneka produk yang dijanjikan dapat menghabisi nyamuk secara total melalui semua media.
Tetapi apa? nyamuk tetap saja menteror kita di manapun berada. Bisakan kita benar-benar menghabisi nyamuk atau teroris dengan segala formula dan propaganda serta program yang kita lakukan.
Bila kita tidak pernah benar-benar menghabisi sarangnya, nyamuk akan selalu ada.
Sepertinya kita lebih banyak membangun sarang-sarang nyamuk baru di kota kita (dengan aneka proyek yang menghasilkan selokan baru, kubangan baru) dibanding dengan membasmi sarang nyamuk yang ada di kota kita.
Nyamuk kita benci tetapi sarang nyamuk selalu kita buatkan
Teroris kita benci, tetapi benih-benihnya selalu saja disebarkan.
Jumat, 14 Agustus 2009
NYAMUK DAN TERORIS
Kamis, 30 Juli 2009
Membuat Biografi
Sejak beberapa bulan lalu, saya terlibat dalam penulisan biografi seorang tokoh di Lampung. Keterlibatan saya semula hanya sebabagi co-writer, tetapi belakang ini saya berubah status menjadi writer karena orang yang selama ini mengomandani penulisan biografi tersebut meminta saya untuk melanjutkan menulis biografi tersebut. Sejak itu saya mulai berfikir kritis bagaimana cara membuat biografi agar biografi yang ditulis tidak menjadi kering, karena hanya berupa catatan atau rangkaian fakta, foto atau prestasi.
Seringkali saya membaca beberapa buku biografi dari orang penting yang tetapi karena buku tersebut hanya kumpulan fakta, peristiwa dan foto menjadikan buku tersebut tidak penting. Saya tidak ingin menulis
biografi yang tidak
Kamis, 04 Juni 2009
Koneksi Internet dengan Smart di Bandar Lampung
Setelah saya puas memakai Starone untuk koneksi Internet pascabayar yang tarifnya Rp. 100.000 (untuk 1 GB), saya tergoda dengan iklan Smart yang katanya beli HP Smart gratis internet unlimited selama 3 bulan. Smart yang baru buka di Lampung menawarkan HP Haier D1200P yang dibundling dengan perdana Smart seharga Rp. 333.000. kalo saya itung-itung itu sama dengan abudemen Starone saya selama 3 bulan yang kuotanya 1 GB tadi.
Sebenarnya saya ragu, apakah koneksi Smart tidak lebih parah dibanding dengan Starone yang sebenarnya sudah cukup mapan? saya juga ragu karena pernah mencoba Haier C2000 untuk modem dan leletnya minta ampun. Apakah Saudaranya ini nggak sama?
Akhirnya, saya memberanikan diri untuk membeli Smart di Bandar Lampung. Saya baca di Lampung Post katanya kantor Smart ada di Arief Rahman Hakim dan Jalan Kartini Bandar Lampung. Saya bolak balik sampe dua kali di Jalan Arief Rahman Hakim tapi tidak ketemu Smart juga. Kebetulan Jl. Arief Rahman hakim lebih dekat ke rumah saya di banding ke Jalan Kartini. Lalu saya mengajak teman saya untuk menelusuri Jl. Kartini. Di pertokoan di depan Mall Kartini saya ketemu Gerai Smart. Langsung saja saya menemui CSnya Smart.
Saya sempat berdebat dengan CSnya soal speed Smart yang katanya 153,6 Kbps. Saya menanyakan kecepan realnya berapa, katanya ya segitu, bahkan bisa sampai lebih. (Dalam hati mustahil, Starone aja yang sudah lama saya pake kecepatannya realnya berdasarkan speedmeter yang saya pake gak pernah lebih dari 30 Kbps. Udahlah, kali dia baru dan belum paham).
Saya akhirnya memutuskan beli saja, toh 300 ribu perak memang harus dikeluarkan tiap bulannya untuk Starone (nanti starone sementara diliburkan dulu), sementara dialihkan untuk Smart.
Yah akhirnya saya dapet hape 333.000 Smart, internet unlimited selama 90 hari.
Sampai di rumah, saya coba drivernya , dan baca petunjuk instalasinya seperti ini
Panduan Instalasi USB driver dan pengaturan modem :
1. Instalasi USB driver
Handphone D1200P dikirimkan dengan PC suite CD yang berisi aplikasi USB Driver.
Ada dua tipe dari instalasi untuk aplikasi USB Driver:
Win32—Digunakan dengan system operasi 32 bits, termasuk file “winusbd32_2.0.17.msi”.
Win64—Digunakan dengan system operasi 64 bits, termasuk file “winusbd64_2.0.17.msi”.
Anda harus menutup semua firewalls dan software anti-virus sebelum instalasi USB driver.
Wizard instalasi berikut adalah contoh pada Windows XP 32bits.
1. Jalankan file “winusbd32_2.0.17.ms”.
2. Klik tombol Next pada pembukaan kotak dialog pengaturan driver.
Gambar 1
3. Pilih jalur instalasi dan klik tombol Next untuk melanjutkan.
Jalur standar adalah “C:\Program Files\VIA Telecom\VIA USB Driver\”.
Gambar 2
4. Klik tombol Install untuk memasang driver USB.
Gambar 3
5. Status instalasi USB pada kotak dialog akan muncul mengindikasikan persentase dari file yang disalin selesai.
Gambar 4
Instalasi windows hardware wizard akan memberikan notifikasi sebanyak tiga kali bahwa paket software belum melewati pengujian Logo Windows untuk membuktikan kecocokannya dengan Windows XP seperti yang di ilustrasikan oleh kotak dialog yang ditampilkan pada gambar 5.
Pilih tombol Continue Anyway, yang mengindikasikan bahwa anda akan melanjutkan proses instalasi software.
Gambar 5
6. Dialog berikut mengindikasikan kalau USB driver telah berhasil dipasang, klik tombol Finish untuk keluar dari wizard.
Gambar 6
Setelah proses instalasi berhasil selesai, file berikut akan berlokasi pada spesifik direktori folder:
C:\Program Files\VIA Telecom\VIA USB Driver\ViaUsbEts:
ViaTelecomFile.cat
ViaUsbEts.inf
ViaUsbEts.sys
C:\Program Files\VIA Telecom\VIA USB Driver\ViaUsbHub:
ViaTelecomFile.cat
ViaUsbHub.inf
C:\Program Files\VIA Telecom\VIA USB Driver\ViaUsbModem:
ViaTelecomFile.cat
ViaUsbModem.inf
ViaUsbModem.sys
2. Mengidentifikasikan USB device
1. Sambungkan PC dan handphone menggunakan kabel USB yang kami sediakan untuk disambungkan pada mekanisme Plug-N-Play untuk melengkapi deteksi, instalasi, dan registrasi dari komponen device driver USB ke Sistem Operasi Windows.
Akan muncul dialog manager, mengindikasikan setiap USB device yang di temukan. Anda hanya perlu mengikuti instruksi diuraikan pada dialog ini dan kotak pesan akan muncul untuk melengkapi bagian dari proses instalasi.
Gambar 7
Kotak pesan yang di ilustrasikan pada Gambar 7 akan muncul dalam waktu periode waktu yang singkat, diikuti oleh Instalasi device Hardware Wizard-Ditemukan Notifikasi dari VIA Telecom USB HUB, seperti terlihat pada Gambar 8.
Klik tombol Continue Anyway, mengindikaskan kalau anda ingin melanjutkan instalasi VIA Telecom USB HUB device.
Gambar 8
Selanjutnya proses Plug-N-Play USB Plug-N-Play akan menemukan dan mencoba untuk menginstal USB Modem device yang di indikasikan kotak pesan berikut (Gambar 9).
Klik tombol Continue Anyway, mengindikasikan kalau anda ingin melanjutkan instalasi VIA Telecom USB Modem device.
Gambar 9
Pada point ini, proses Plug-N-Play USB akan ditemukan dan mencoba untuk menginstal USB ETS device seperti yang di indikasikan oleh kotak pesan sebagai berikut (Gambar 10).
Klik tombol Continue Anyway, instalasi dari VIA Telecom USB ETS device akan timbul secara otomatis.
Gambar 10
Instalasi USB device akan selesai dengan kotak pesan sebagai berikut (Gambar 11).
Gambar 11
2. Pemeriksaan dari daftar Windows Device Manager’s device (seperti gambar 12) akan membuktikan keberhasilan instalasi dari USB device, yaitu:
VIA Telecom USB Modem
VIA Telecom USB ETS
VIA Telecom USB HUB
Gambar 12
3. Pengaturan modem
D1200P anda berisi CDMA modem lengkap, jadi anda bisa menggunakannya untuk menyambungkan PC anda ke internet.
Wizard berikut akan membantu anda untuk mengatur jaringan dial-up pada PC anda.
Pengaturan Parameter Data Call Smart Telecom
User Name smart
Password smart
Dial Up Number #777
3.1 Konfigurasi modem
1. Sambungkan PC dan handphone menggunakan kabel yang kami sediakan.
2. Dari system menu windows “Start” ->”Programs” ->”Accessories” ->Communications” ->”New Connection Wizard”, seperti terlihat pada Gambar 13.
Gambar 13
3. Klik tombol Next .
Gambar 14
4. Pilih pilihan “Connect to the Internet” , klik tombol Next.
Gambar 15
5. Pilih pilihan “Set up my connection manually”, klik tombol Next.
Gambar 16
6. Pilih pilihan “Connect using a dial-up modem”, klik tombol Next.
Gambar 17
7. Ketik Nama ISP: SMART, klik tombol Next.
Gambar 18
8. Ketik nomor telepon ISP: #777, klik tombol Next.
Gambar 19
9. Ketik account nama ISP: smart, password: smart, klik tombol Next.
Gambar 20
10. Klik tombol Finish, melengkapi koneksi baru wizard.
Figure 21
3.2 Dial-up jaringan
1. Dari system menu windows “Start” ->”Settings” ->”Network Connections” ->”SMART”, seperti terlihat pada Gambar 22
Gambar 22
2. Klik tombol Dial untuk dial-up jaringan, seperti terlihat pada Gambar 23.
(User name: smart; Password: smart; Dial-up number: #777)
Gambar 23
3. Kotak dialog berikut ini akan muncul, mengindikasikan panggilan, verifikasi username dan password, proses mendaftarkan (Gambar 24, Gambar 25, Gambar 26, Gambar 27).
Gambar 24
Gambar 25
Gambar 26
Gambar 27
4. Untuk memutuskan dial-up jaringan, pilih koneksi ikon SMART pada bar status. Pilih Disconnect dialog pop-up.
Gambar 28
Rabu, 27 Mei 2009
Peningkatan Mutu Pendidikan
Pemahaman dan pandangan tentang mutu pendidikan selama ini sangat beragam. Orangtua memandang pendidikan yang bermutu sebagai lembaga pendidikan yang megah, gedung sekolah yang kokoh dengan genting yang memerah bata, taman sekolah yang indah, dan seterusnya. Para ilmuwan memandang pendidikan bermutu sebagai sekolah yang siswanya banyak menjadi pemenang dalam berbagai lomba atau olimpiade di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Repatriat mempunyai pandangan yang berbeda lagi. Sekolah yang bermutu adalah sekolah yang memberikan mata pelajaran bahasa asing bagi anak-anaknya.
Orang kaya tentu memiliki pandangan yang berbeda pula. Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang diperoleh anaknya dengan membayar uang sekolah yang setinggi langit untuk memperoleh berbagai paket kegiatan ekstrakurikuler. Berbagai predikat lembaga pendidikan sekolah telah lahir, seperti sekolah favorit, sekolah unggulan, sekolah plus, kelas unggulan. Ada pula berbagai predikat lembaga pendidikan yang juga muncul bak jamur di musim penghujan, seperti boarding school, full day school, sekolah nasional berwawasan internasional, sekolah alam, dan sekolah berwawasan internasional. Semua sebutan itu tidak lain untuk menunjukkan aspek mutu pendidikan yang akan diraihnya.
Lalu, bagaimana sesungguhnya pendidikan yang bermutu tersebut? Uraian tentang dimensi mutu pendidikan itu tertuang dalam buku EFA Global Monitoring Report 2005 atau Laporan Pemantauan Global Pendidikan Untuk Semua. Setiap tahun, UNESCO menerbitkan laporan tentang perkembangan pendidikan, baik pendidikan formal dan pendidikan informal, di berbagai belahan dunia.
Menurut UNESCO, ada lima dimensi yang terkait dengan mutu pendidikan[1] yaitu:
1. Karakteristik pembelajar (learner characteristics)
Dimensi ini sering disebut sebagai masukan (inputs) atau malah masukan kasar (raw inputs) dalam teori fungsi produksi (production function theory), yaitu peserta didik atau pembelajar dengan berbagai latar belakangnya, seperti pengetahuan (aptitude), kemauan dan semangat untuk belajar (perseverance), kesiapan untuk bersekolah (school readiness), pengetahuan siap sebelum masuk sekolah (prior knowledge), dan hambatan untuk pembelajaran (barriers to learning) terutama bagi anak luar biasa. Banyak factor latar belakang peserta didik yang sangat mempengaruhi mutu pendidikan di negeri ini. Banyak anak usia sekolah yang tidak didukung oleh kondisi yang kondusif, misalnya peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu, keluarga pecah (broken home), kesehatan lingkungan, pola asuh anak usia dini, dan faktor-faktor lain-lainnya. Dimensi ini menjadi faktor awal yang mempengaruhi mutu pendidikan.[2]
2. Pengupayaan masukan (enabling inputs)
Ada dua macam masukan yang akan mempengaruhi mutu pendidikan yang dihasilkan, yaitu sumber daya manusia dan sumber daya fisikal. Guru atau pendidik, kepala madrasah, pengawas, dan tenaga kependidikan lain menjadi sumber daya manusia (human resources) yang akan mempengaruhi mutu hasil belajar siswa (outcomes). Proses belajar mengajar tidak dapat berlangung dengan nyaman dan aman jika fasilitas belajar, seperti gedung sekolah, ruang kelas, buku dan bahan ajar lainnya (learning materials), media dan alat peraga yang dapat diupayakan oleh sekolah, termasuk perpustakaan dan laboratorium, bahkan juga kantin sekolah, dan fasilitas pendidikan lainnya, seperti buku pelajaran dan kurikulum yang digunakan di sekolah. Semua itu dikenal sebagai infrastruktur fisikal (physical infrastructure atau facilities). Singkat kata, mutu SDM yang tersedia di sekolah dan mutu fasilitas sekolah merupakan dua macam masukan yang sangat berpengaruh terhadap mutu pendidikan.
3. Proses belajar-mengajar (teaching and learning)
Dimensi ketiga ini sering disebut sebagai kotak hitam (black box) masalah pendidikan. Dalam kotak hitam ini terdapat tiga komponen utama pendidikan yang saling berinteraksi satu dengan yang lain, yaitu peserta didik, pendidik, dan kurikulum. Tanpa peserta didik, siapa yang akan diajar? Tanpa pendidik, siapa yang akan mengajar, dan tanpa kurikulum, bahan apa yang akan diajarkan? Oleh karena itu mutu proses belajar mengajar, atau mutu interaksi edukatif yang terjadi di ruang kelas, menjadi faktor yang amat berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Efektivitas proses belajar-mengajar dipengaruhi oleh: (1) lama waktu belajar, (2) metode mengajar yang digunakan, (3) penilaian, umpan balik, bentuk penghargaan bagi peserta didik, dan (4) jumlah peserta didik dalam satu kelas.
Ruang kelas di Indonesia sangat kering dengan media dan alat peraga. Pakar pendidikan, Dr. Arif Rahman, M.Pd. sering menyebutkan bahwa ruang kelas ibarat menjadi penjara bagi anak-anak. Jika diumumkan ada rapat dewan pendidik, dalam arti tidak ada kelas, maka bersoraklah para siswa, ibarat keluar dari pintu penjara tersebut. Sesungguhnya, di sinilah kelemahan terbesar pendidikan di negeri ini. Proses belajar mengajar di ruang kelas sangat kering dari penggunaan teknik penguatan (reinforcement), kering dari penggunaan media dan alat peraga yang menyenangkan. Dampaknya, dapat diterka, yaitu hasil belajar yang belum memenuhi standar mutu yang ditentukan. Sentral permasalahan lemahnya proses belajar mengajar di dalam kelas ini, sebenarnya sudah diketahui, yakni kualifikasi dan kompetensi guru. Setengah guru Indonesia belum memenuhi standar kualifikasi. Apalagi dengan standar kompetensinya. Timbullah istilah ‘guru tak layak’. Belum lagi dengan masalah kesejahteraannya. Ada pendapat yang menyatakan bahwa semua masalah bersumber dari masalah kesejahteraan. Memang, kesejahteraan guru menjadi salah satu syarat agar guru dapat disebut sebagai profesi, selain (1) memerlukan keahlian, (2) keahlian itu diperoleh dari proses pendidikan dan pelatihan, (3) keahlian itu diperlukan masyarakat, (4) punya organisasi profesi, (5) keahlian yang dimiliki dibayar dengan gaji yang memadai.[3]
4. Hasil belajar (outcomes)
Hasil belajar adalah sasaran yang diharapkan oleh semua pihak. Di sini memang terjadi perbedaan harapan dari pihak-pihak tersebut. Pihak dunia usaha dan industri (DUDI) mengharapkan lulusan yang siap pakai. Pendidikan kejuruan dipacu agar dapat memenuhi harapan ini. Sedang pihak praktisi pendidikan pada umumnya cukup berharap lulusan yang siap latih. Alasannya, agar DUDI dapat memberikan peran lebih besar lagi dalam memberikan pelatihan.
Setidaknya, semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan menghasilkan lulusan yang dapat membaca dan menulis (literacy), berhitung (numeracy), dan kecakapan hidup (life skills) Ini memang pasti. Selain itu, peserta didik harus memiliki kecerdasan emosional dan sosial (emotional dan social intelligences), nilai-nilai lain yang diperlukan masyarakat. Terkait dengan berbagai macam kecerdasan, Howard Gardner menegaskan bahwa “satu-satunya sumbangan paling penting untuk perkembangan anak adalah membantunya untuk menemukan bidang yang paling cocok dengan bakatnya”[4].
Hasil belajar yang akan dicapai sesungguhnya yang sesuai dengan potensinya, sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta sesuai dengan tipe kecerdasannya, di samping juga nilai-nilai kehidupan (values) yang diperlukan untuk memeliharan dan menstransformasikan budaya dan kepribadian bangsa. Dalam perspektif psikologi pendidikan dikenal sebagai ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam perspektif sosial dikenal dengan istilah 3H (head, heart, hand). Tokoh pendidikan dari Minang mengingatkan bahwa “Dari pohon rambutan jangan diminta berbuah mangga, tapi jadikanlah setiap pohon mangga itu menghasilkan buah mangga yang manis” (Muhammad Sjafei, INS). Semua itu pada dadarnya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional “…. berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”[5]
5. Konteks (contexts) atau lingkungan (environments)
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap hasil pendididikan siswa, karena mereka hidup alam konteks lingkungan sekitarnya, baik lingkungan sekolah atau keluarga, atau lingkungan pergaulansiswa
Keempat dimensi yang telah dijelaskan tersebut saling pengaruh-mempengaruhi dengan konteks (contexts) atau lingkungan (environments) yang meliputi berbagai aspek alam, sosial, ekonomi, dan budaya, sebagai berikut:[6]
Economics and labour market conditions in the community atau kondisi pasar ekonomi dan pasar dalam masyarakat.
Socio-cultural and religious factors atau faktor religius dan sosip-kultural.
Educational knowledge and support infrastructure atau pengetahuan dan infrastruktur yang mendukung dunia pendidikan.
Public Resources Available For Education atau ketersediaan sumber-sumber masyarakat untuk pendidikan.
Competitiveness of the teaching profession on the labour market atau daya saing profesi mengajar pada pasar tenaga kerja.
National governance and management strategies atau strategi manajemen dan tata kelola pemerintahan.
Philosophical standpoint of teacher and learner atau pandangan filosofis guru dan peserta didik.
Peer effects atau pengaruh teman sebaya.
Parental Support atau dukungan orangtua atau keluarga.
Time available for schooling and home works atau ketersediaan waktu untuk sekolah dan PR.
National standards atau standar-standar nasional.
Public Expectations atau harapan masyarakat.
Labour market demands permintaan pasar tenaga kerja.
Globalization atau globalisasi.
Pada awalnya, peran orangtua (rumah) dan keluarga belum dipandang sebagai dimensi yang benar-benar berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Sekarang dukungan orangtua menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik. Dalam kajian tentang sekolah efektif (effective school), dukungan orangtua siswa dan masyarakat menjadi salah satu faktor dalam sekolah efektif.
[1]Suparlan, “Dimensi Mutu Pendidikan” dalam http://www.suparlan.com/pages/posts/ dimensi-mutu-pendidikan90.php?p=60, diakses tgl. 1 Juli 2008
[2]Ibid.
[3]Suparlan, Guru Sebagai Profesi, (Yogyakarta : Hikayat, 2006), h. 45
[4]Daniel Goleman, Emotional Inteligence, (Jakarta:Gramedia, 2002), h. 34
[5]Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[6]Suparlan, Op. Cit,
Minggu, 01 Februari 2009
Kinerja Guru dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
Kinerja merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, work performance atau job performance tetapi dalam bahasa Inggrisnya sering disingkat menjadi performance saja. Kinerja dalam bahasa Indonesia disebut juga prestasi kerja. Kinerja atau prestasi kerja (performance) diartikan sebagai ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap, ketrampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu. Masalah kinerja selalu mendapat perhatian dalam manajemen karena sangat berkaitan dengan produktivitas lembaga atau organisasi. “performance = Ability x motivation”. Dan faktor-faktor utama yang mempengaruhi kinerja adalah kemampuan dan kemauan. Memang diakui bahwa banyak orang mampu tetapi tidak mau sehingga tetap tidak menghasilkan kinerja. Demikian pula halnya banyak orang mau tetapi tidak mampu juga tetap tidak menghasilkan kinerja apa-apa. Kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan atau kemampuan bekerja, dengan kata lain bahwa kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kerja. Penilaian kinerja menurut Hendri Simamora adalah alat yang berfaedah tidak hanya untuk mengevaluasi kerja dari para karyawan, tetapi juga untuk mengembangkan dan memotivasi kalangan karyawan.[1] Sejalan dengan pendapat tersebut Hasibuan mengemukakan bahwa penilaian prestasi adalah kegiatan manajer untuk mengevaluasi perilaku prestasi kerja karyawan serta menetapkan kebijaksanaan selanjutnya.[2] Dalam penilaian kinerja tidak hanya semata-mata menilai hasil fisik, tetapi pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan yang menyangkut berbagai bidang seperti kemampuan, kerajinan, disiplin, hubungan kerja atau hal-hal khusus sesuai bidang tugasnya semuanya layak untuk dinilai.
Prestasi kerja merupakan gabungan dari tiga faktor penting yaitu, kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi tugas, serta peran dan tingkat motivasi seorang pekerja. Semakin tinggi ketiga faktor di atas, semakin besarlah prestasi kerja karyawan bersangkutan.
Dari pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila seorang pegawai telah memiliki kemampuan dalam penguasaan bidang pekerjaannya, mempunyai minat untuk melakukan pekerjaan tersebut, adanya kejelasan peran dan motivasi pekerjaan yang baik, maka orang tersebut memiliki landasan yang kuat untuk berprestasi lebih baik.
Ukuran kinerja secara umum yang kemudian diterjemahkan ke dalam penilaian prilaku secara mendasar meliputi: (1) kualitas kerja; (2) kuantitas kerja; (3) pengetahuan tentang pekerjaan; (4) pendapat atau pernyataan yang disampaikan; (5) keputusan yang diambil; (6) perencanaan kerja; (7) daerah organisasi kerja.[3]
Jika kinerja adalah kuantitas dan kualitas pekerjaan yang diselesaikan oleh individu, maka kinerja merupakan output pelaksanaan tugas. Kinerja mempunyai hubungan yang erat dengan masalah produktivitas, karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi.
Hasibuan menyatakan bahwa produktivitas adalah perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (inpuFaktor-faktor yang mempengaruhi kinerja menurut Sedarmayanti (2001) antara lain: (1) sikap mental (motivasi kerja, disiplin kerja, etika kerja); (2) pendidikan; (3) ketrampilan; (4) manajemen kepemimpinan; (5) tingkat penghasilan; (6)gaji dan kesehatan; (7) jaminan sosial; (8) iklim kerja; (9)sarana pra sarana; (10) teknologi; (11) kesempatan berprestasi.[4]
Bertolak dari pendapat para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kinerja guru atau prestasi kerja (perforamce) adalah hasil yang dicapai oleh guru dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu dengan output yang dihasilkan tercermin baik
Dalam perspektif manajemen, agar kinerja guru dapat selalu ditingkatkan dan mencapai standar tertentu, maka dibutuhkan suatu manajemen kinerja (performance management). Tapi perlu definisi khusus tentang kinerja itu sendiri. Dengan mengacu pada pemikiran Robert Bacal dalam bukunya Performance Management di bawah ini akan dibicarakan tentang manajemen kinerja guru. Robert Bacal mengemukakan bahwa manajemen kinerja, sebagai sebuah proses komunikasi yang berkesinambungan dan dilakukan dalam kemitraan antara seorang karyawan dan penyelia langsungnya.[5] Proses ini meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan. Ini merupakan sebuah sistem. Artinya, ia memiliki sejumlah bagian yang semuanya harus diikut sertakan, kalau sistem manajemen kinerja ini hendak memberikan nilai tambah bagi organisasi, manajer dan karyawan. Dari ungkapan di atas, maka manajemen kinerja guru terutama berkaitan erat dengan tugas kepala madrasah untuk selalu melakukan komunikasi yang berkesinambungan, melalui jalinan kemitraan dengan seluruh guru di sekolahnya.
Dalam mengembangkan manajemen kinerja guru, didalamnya harus dapat membangun harapan yang jelas serta pemahaman tentang Fungsi kerja esensial yang diharapkan dari para guru:
1. Seberapa besar kontribusi pekerjaan guru bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah.melakukan pekerjaan dengan baik”
2. Bagaimana guru dan kepala madrasah bekerja sama untuk mempertahankan, memperbaiki, maupun mengembangkan kinerja guru yang sudah ada sekarang.
3. Bagaimana prestasi kerja akan diukur.
4. Mengenali berbagai hambatan kinerja dan berupaya menyingkirkannya.[6]
Selanjutnya, Robert Bacal mengemukakan pula bahwa dalam manajemen kinerja diantaranya meliputi perencanaan kinerja, komunikasi kinerja yang berkesinambungan dan evaluasi kinerja.Perencanaan kinerja merupakan suatu proses di mana guru dan kepala madrasah bekerja sama merencanakan apa yang harus dikerjakan guru pada tahun mendatang, menentukan bagaimana kinerja harus diukur, mengenali dan merencanakan cara mengatasi kendala, serta mencapai pemahaman bersama tentang pekerjaan itu.
Komunikasi yang berkesinambungan merupakan proses di mana kepala madrasah dan guru bekerja sama untuk saling berbagi informasi mengenai perkembangan kerja, hambatan dan permasalahan yang mungkin timbul, solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah, dan bagaimana kepala madrasah dapat membantu guru. Arti pentingnya terletak pada kemampuannya mengidentifikasi dan menanggulangi kesulitan atau persoalan sebelum itu menjadi besar.
Evaluasi kinerja adalah salah satu bagian dari manajemen kinerja, yang merupakan proses di mana kinerja perseorangan dinilai dan dievaluasi. Ini dipakai untuk menjawab pertanyaan, “ Seberapa baikkah kinerja seorang guru pada suatu periode tertentu ?”. Metode apapun yang dipergunakan untuk menilai kinerja, penting sekali bagi kita untuk menghindari dua perangkap. Pertama, tidak mengasumsikan masalah kinerja terjadi secara terpisah satu sama lain, atau “selalu salahnya guru”. Kedua, tiada satu pun taksiran yang dapat memberikan gambaran keseluruhan tentang apa yang terjadi dan mengapa. Penilaian kinerja hanyalah sebuah titik awal bagi diskusi serta diagnosis lebih lanjut.
Sementara itu, Karen Seeker dan Joe B. Wilson memberikan gambaran tentang proses manajemen kinerja dengan apa yang disebut dengan siklus manajemen kinerja, yang terdiri dari tiga fase yakni perencanaan, pembinaan, dan evaluasi[7].
Perencanaan merupakan fase pendefinisian dan pembahasan peran, tanggung jawab, dan ekpektasi yang terukur. Perencanaan tadi membawa pada fase pembinaan,– di mana guru dibimbing dan dikembangkan – mendorong atau mengarahkan upaya mereka melalui dukungan, umpan balik, dan penghargaan. Kemudian dalam fase evaluasi, kinerja guru dikaji dan dibandingkan dengan ekspektasi yang telah ditetapkan dalam rencana kinerja. Rencana terus dikembangkan, siklus terus berulang, dan guru, kepala madrasah, dan staf administrasi , serta organisasi terus belajar dan tumbuh.
Setiap fase didasarkan pada masukan dari fase sebelumnya dan menghasilkan keluaran, yang pada gilirannya, menjadi masukan fase berikutnya lagi. Semua dari ketiga fase Siklus Manajemen Kinerja sama pentingnya bagi mutu proses dan ketiganya harus diperlakukan secara berurut. Perencanaan harus dilakukan pertama kali, kemudian diikuti Pembinaan, dan akhirnya Evaluasi.
Dengan tidak bermaksud mengesampingkan arti penting perencanaan kinerja dan pembinaan atau komunikasi kinerja. Di bawah ini akan dipaparkan tentang evaluasi kinerja guru. Bahwa agar kinerja guru dapat ditingkatkan dan memberikan sumbangan yang siginifikan terhadap kinerja sekolah secara keseluruhan maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja guru.
Dalam hal ini, Ronald T.C. Boyd mengemukakan bahwa evaluasi kinerja guru didesain untuk melayani dua tujuan, yaitu : (1) untuk mengukur kompetensi guru dan (2) mendukung pengembangan profesional.[8] Sistem evaluasi kinerja guru hendaknya memberikan manfaat sebagai umpan balik untuk memenuhi berbagai kebutuhan di kelas (classroom needs), dan dapat memberikan peluang bagi pengembangan teknik-teknik baru dalam pengajaran, serta mendapatkan konseling dari kepala madrasah, pengawas pendidkan atau guru lainnya untuk membuat berbagai perubahan di dalam kelas.
Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang evaluator (baca: kepala madrasah atau pengawas sekolah) terlebih dahulu harus menyusun prosedur spesifik dan menetapkan standar evaluasi. Penetapan standar hendaknya dikaitkan dengan : (1) keterampilan-keterampilan dalam mengajar; (2) bersifat seobyektif mungkin; (3) komunikasi secara jelas dengan guru sebelum penilaian dilaksanakan dan ditinjau ulang setelah selesai dievaluasi, dan (4) dikaitkan dengan pengembangan profesional guru .
Para evaluator hendaknya mempertimbangkan aspek keragaman keterampilan pengajaran yang dimiliki guru. dan menggunakan berbagai sumber informasi tentang kinerja guru, sehingga dapat memberikan penilaian secara lebih akurat. Beberapa prosedur evaluasi kinerja guru yang dapat digunakan oleh evaluator, diantaranya :
1. Mengobservasi kegiatan kelas (observe classroom activities). Ini merupakan bentuk umum untuk mengumpulkan data dalam menilai kinerja guru. Tujuan observasi kelas adalah untuk memperoleh gambaran secara representatif tentang kinerja guru di dalam kelas. Kendati demikian, untuk memperoleh tujuan ini, evaluator dalam menentukan hasil evaluasi tidak cukup dengan waktu yang relatif sedikit atau hanya satu kelas. Oleh karena itu observasi dapat dilaksanakan secara formal dan direncanakan atau secara informal dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu sehingga dapat diperoleh informasi yang bernilai (valuable)
2. Meninjau kembali rencana pengajaran dan catatan – catatan dalam kelas. Rencana pengajaran dapat merefleksikan sejauh mana guru dapat memahami tujuan-tujuan pengajaran. Peninjauan catatan-cataan dalam kelas, seperti hasil test dan tugas-tugas merupakan indikator sejauhmana guru dapat mengkaitkan antara perencanaan pengajaran , proses pengajaran dan testing (evaluasi).
3. Memperluas jumlah orang-orang yang terlibat dalam evaluasi. Jika tujuan evaluasi untuk meningkatkan pertumbuhan kinerja guru maka kegiatan evaluasi sebaiknya dapat melibatkan berbagai pihak sebagai evaluator, seperti : siswa, rekan sejawat, dan tenaga administrasi. Bahkan self evaluation akan memberikan perspektif tentang kinerjanya. Namun jika untuk kepentingan pengujian kompetensi, pada umumnya yang bertindak sebagai evaluator adalah kepala madrasah dan pengawas.
Setiap hasil evaluasi seyogyanya dilaporkan. Konferensi pasca-observasi dapat memberikan umpan balik kepada guru tentang kekuatan dan kelemahannya. Dalam hal ini, beberapa hal yang harus diperhatikan oleh evaluator : (1) penyampaian umpan balik dilakukan secara positif dan bijak; (2) penyampaian gagasan dan mendorong untuk terjadinya perubahan pada guru; (3) menjaga derajat formalitas sesuai dengan keperluan untuk mencapai tujuan-tujuan evaluasi; (4) menjaga keseimbangan antara pujian dan kritik; (5) memberikan umpan balik yang bermanfaat secara secukupnya dan tidak berlebihan.
Andi Kirana sebagaimana dikutip oleh Wannef Jambak[9] mengatakan bahwa kepemimpinan yang memberdayakan mengimplikasikan suatu keinginan untuk melimpahkan tanggung jawab dan berusaha membantu dalam menentukan kondisi dimana orang lain dapat berhasil.
Oleh karena itu, seorang pemimpin harus menjelaskan apa yang diharapkannya, harus menghargai kontribusi setiap orang, harus membawa lebih banyak orang keluar “kotak organisasi” dan harus mendorong setiap orang untuk berani mengemukakan pendapat. Sedangkan menurut Mulyadi dan Setiyawan, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Sholeh pengemukakan bahwa pemberdayaan staf adalah pemberian wewenang kepada staf untuk merencanakan dan membuat keputusan tentang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, tanpa harus mendapatkan otorisasi secara eksplisit dari atasan. Pemberian wewenang oleh manajemen kepada staf dilandasi oleh keberdayaan staf. Pemberdayaan bersifat mendukung budaya dan tidak menyalahkan. Kesalahan dianggap kesempatan untuk belajar[10]
Pemberdayaan menurut Jambak harus didukung oleh sejumlah etika yang konsisten, dan orang-orang yang hidup dengan etika tersebut memberikan contoh bagi yang lain. Etika dari pemimpin yang memberdayakan adalah menghormati orang dan menghargai kekuatan dan kontribusi mereka yang berbeda-beda, menekankan pentingnya komunikasi yang terbuka, jujur, bertanggung jawab untuk bekerjasama dengan yang lain, mengakui nilai pertumbuhan dan perkembangan pribadi, mementingkan kepuasaan pelanggan, berusaha memenuhi kebutuhan akan adanya perbaikan sebagai suatu proses yang tetap dimana setiap orang harus ikut ambil bagian secara aktif. Nilai-nilai etis ini akan membantu organisasi menjadi lebih kuat dan menjadi tempat yang lebih baik untuk bekerja bagi setiap individu. Pemberdayaan bertujuan menghapuskan hambatan-hambatan sebanyak mungkin guna membebaskan organisasi dan orang-orang yang bekerja di dalamnya, melepaskan mereka dari halangan-halangan yang hanya memperlambat reaksi dan merintangi aksi mereka
Menurut Mulyadi dan Setiyawan dalam Muhamamd Sholeh untuk mewujudkan suatu pemberdayaan dalam organisasi, seorang pemimpin harus memahami tiga keyakinan dasar berikut :
1. Badan yang lebih tinggi kedudukannya tidak boleh mengambil tanggung jawab yang dapat dan harus dilaksanakan oleh badan yang berkedudukan lebih rendah
2. Staf pada dasarnya baik
3. Pemberdayaan staf menekankan aspek kepercayaan yang diletakkan oleh manajemen kepada staf.[11]
Ad. 1 Badan yang lebih tinggi kedudukannya tidak boleh mengambil tanggung jawab yang dapat dan harus dilaksanakan oleh badan yang berkedudukan lebih rendah
Dengan kata lain, mencuri tanggung jawab orang merupakan suatu kesalahan, karena keadaan ini akhirnya menjadikan orang tersebut tidak terampil. Kenyataannya, di masa lalu organisasi lebih banyak dirancang untuk memastikan bahwa kesalahan tidak pernah terjadi. Dalam terminologi lama organisasi, pengambilalihan tanggung jawab bawahan oleh atasan merupakan hal yang normal terjadi, dan dibenarkan dengan suatu alasan bahwa suatu organisasi dibentuk untuk menghindari kesalahan.
Ad. 2 Staf pada dasarnya baik
Inti pemberdayaan staf adalah keyakinan bahwa orang pada dasarnya baik. Meskipun kadang-kadang orang gagal, dan kadang-kadang orang melakukan kesalahan, namun tujuan orang adalah menuju kebaikan. Sebagai manusia yang berakal sehat dan makhluk yang berfikir, orang memiliki kecenderungan alami untuk berhasil dalam pekerjaannya. Untuk dapat memberdayakan orang lain, atasan harus secara sederhana yakin bahwa;sepanjang masa, hampir setiap orang , hampir selalu, akan menggunakan kekuatannya dalam mewujudkan visinya dan dipandu oleh nilai-nilai kebaikan. Pemberdayaan staf dapat dipandang sebagai pemerdekaan, karena dengan pemberdayaan, atasan tidak lagi menggunakan pengawasan, pengecekan, verifikasi, dan mengatur aktivitas orang yang bekerja dalam organisasi. Atasan melakukan pemberdayaan dengan memberikan pelatihan dan teknologi yang memadai kepada staf, memberikan arah yang benar, dan membiarkan staf untuk mengerjakan semua yang dapat dikerjakan oleh mereka.
Ad 3. Pemberdayaan staf menekankan aspek kepercayaan yang diletakkan oleh manajemen kepada staf.
Dari pemberdayaan staf, hubungan yang tercipta antara manajemen dengan staf adalah hubungan berbasis kepercayaan (trust-based relationship) yang diberikan oleh manajemen kepada staf, atau sebaliknya kepercayaan yang dibangun oleh staf melalui kinerjanya. Lebih lanjut Stewart mengatakan ada enam cara yang dapat digunakan pemimpin dalam mengembangkan pemberdayaan staf/bawahan, yakni: meningkatkan kemampuan staf/bawahan (enabling), memperlancar (facilitating) tugas-tugas mereka, konsultasi (consulting), bekerjasama (collaborating), membimbing (mentoring) bawahan, dan mendukung (supporting).
Namun apapun cara yang ditempuh oleh pemimpin dalam memberdayakan staf/bawahan, menurut Sarah Cook dan Steve Macaulay kepemimpinan yang memberdayakan perlu mengacu pada empat dimensi, yaitu visi, realita, orang (manusia), dan keberanian.[12] Visi, pemimpin yang memberdayakan melihat semuanya secara luas dan mendorong pemahaman anggota tim tentang bagaimana cara mereka menyesuaikan diri dengan situasi dan berbagi dengan anggota tim tentang kemungkinan-kemungkinan baru di masa mendatang. Mereka memotivasi yang lain dengan visi tentang apa yang mereka coba meraih dan mendorong tim untuk memikirkan cara sampai ke sana. Realita, kepemimpinan yang memberdayakan menanggapi dan mencari fakta-fakta tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mereka tetap menjaga agar kaki mereka tetap menginjak bumi dengan secara teratur;memeriksa realita dan tidak mudah terpedaya atau mengabaikan peringatan. Mereka menyadari akan keberadaan orang lain dan keberadaan mereka sendiri.
Orang (manusia), pemimpin yang memberdayakan sensitif terhadap orang (sesama manusia), siap memenuhi kebutuhan orang lain dan melakukannya dengan cara etis yang akan membangun saling percaya dan menghormati. Keberanian, pemimpin yang memberdayakan adalah pemimpin yang siap bernisiatif dan mau mengambil resiko. Mereka tidak terbelenggu oleh cara-cara lama dalam menangani sesuatu di masa lalu atau oleh ketakutan-ketakutan akan kesalahan yang tidak beralasan.
Dalam memberdayakan staf/bawahan seorang pemimpin disamping harus berpegang pada etika dan prinsip-prinsip pemberdayaan yang ada, ia juga harus berani berbaur dengan staf/bawahan, mampu menjadi pembimbing dan motivator bagi mereka serta mampu menunjukkan dirinya sebagai sosok yang dapat diteladani akibat pemberdayaan itu sendiri.
Salah satu tugas kepala madrasah selaku manager terhadap guru salah satunya adalah melakukan penilaian atas kinerjanya. Penilaian ini mutlak dilaksanakan untuk mengetahui kinerja yang telah dicapai oleh guru. Apakah kinerja yang dicapai setiap guru baik, sedang atau kurang. Penilaian ini penting bagi setiap guru dan berguna bagi sekolah dalam menetapkan kegiatannya.
Dengan penilaian berarti guru mendapat perhatian dari atasannya sehingga dapat mendorong mereka untuk bersemangat bekerja, tentu saja asal penilaian ini dilakukan secara obyektif dan jujur serta ada tindak lanjutnya. Tindak lanjut penilaian ini guru memungkinkan untuk memperoleh imbalan balas jasa dari sekolah seperti memperoleh kenaikan jabatan seperti menjadi wakil, ketua jurusan, modal untuk mendapatkan kenaikan pangkat dengan sistem kredit.
Unsur prestasi karyawan yang dinilai oleh setiap organisasi atau perusahan tidaklah selalu sama, tetapi pada dasarnya unsur-unsur yang dinilai itu mencakup seperti hal-hal di atas. Demikian juga untuk menilai kinerja guru, unsur-unsur yang telah dipaparkan di atas dapat digunakan oleh kepala madrasah untuk melakukan penilaian namun tentu saja berkaitan dengan profesinya sebagai guru dengan utamanya sebagai pengajar.
Dalam melaksanakan tugasnya , guru tidak berada dalam lingkungan yang kosong. Ia bagian dari dari sebuah “mesin besar” pendidikan nasional, dan karena itu ia terikat pada rambu-rambu yang telah ditetapkan secara nasional mengenai apa yang mesti dilakukannya. Hal seperti biasa dimanapun, namun dalam konteks profesionalisme guru dimana mengajar dianggap sebagai pekerjan profesional, maka guru dituntut untuk profesional dalam melaksanakan tugasnya.
Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru bukan hanya berlangsung di Indonesia, melainkan di negara-negara maju. Misalnya, di Amerika Serikat isu tentang profesionalisasi guru ramai dibicarakan mulai pertengahan tahun 1980-an. Hal itu masih berlangsung hingga sekarang.
Dalam jurnal pendidikan, Educational Leadership edisi 1993 menurunkan laporan utama tentang soal ini. Menurut jurnal itu untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal :Pertama, guru mempunyai komitmen kepada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswa; Kedua, guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan; Ketiga, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar; Keempat, guru mampu berpikir sistematis tentang apa apa yang akan dilakukaknnya , dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa; Kelima, guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya kalau di kita, PGRI dan organisasi profesi lainnya.[13]
Untuk menciptakan guru yang profesional tersebut, diperlukan adanya bimbingan dan supervisi dari kepala madrasah. Tanpa adanya supervisi, peningkatan mutu pendidikan akan sulit tercapai. Hal ini disebabkan karena kinerja guru tergantung bagaimana gaya kepemimpinan kepala madrasah dalam memimpin. Bila kepala madrasah bersifat otokratik, maka guru akan cenderung bersikap pasif dan menunggu komando dari pimpinan. Dalam kepemimpinan yang laissez faire, guru akan melakukan inisiatif sebisanya atau akan mencoba bereksperimen dalam kegiatan belajar mengajar sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan dalam kepemimpinan yang demokratis, guru dapat berdiskusi dan memberi masukan kepada kepala madrasah dalam peningkatan mutu pendidikan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru
Kinerja guru dipengaruhi oleh faktor-faktor yang melingkupinya dan masing-masing individu berbeda satu sama lain.. Secara garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor[14], yaitu : faktor individu dan situasi kerja. Faktor individu menentukan bagaimana ia dapat mengaktualisasikan dirinya dalam lingkungan pekerjaan, sementara faktor situasi kerja mempengaruhi bagaimana individu dapat mengaktualiasikan diri sesuai dengan lingkungan sekitarnya.
Menurut Gibson, et al dalam Srimulyo ada tiga perangkat variabel yang mempengaruhi perilaku dan prestasi kerja atau kinerja, yaitu:
1. Variabel individual, terdiri dari:
a. Kemampuan dan ketrampilan: mental dan fisik
b. Latar belakang: keluarga, tingkat sosial, penggajian
c. demografis: umur, asal-usul, jenis kelamin.
2. Variabel organisasional, terdiri dari:
a. Sumberdaya
b. Kepemimpinan
c. Imbalan
d. Struktur
e. Desain pekerjaan.
3. Variabel psikologis, terdiri dari:
a. Persepsi
b. Sikap
c. Kepribadian
d. Belajar
e. Motivasi. [15],
Ketiga variabel tersebut berhubungan satu sama lain dan saling pengaruh-mempengaruhi. Gabungan variabel individu, organisasi, dan psikologis sangat menentukan bagaimana seseorang mengaktualisasikan diri.
Menurut Tiffin dan Me. Cormick dalam Srimulyo, ada dua variabel yang dapat mempengaruhi kinerja, yaitu:
1. Variabel individual, meliputi: sikap, karakteristik, sifat-sifat fisik, minat dan motivasi, pengalaman, umur, jenis kelamin, pcndidikan, serta faktor individual lainnya.
2. Variabel situasional:
1. Faktor fisik dan pekerjaan, terdiri dari; metode kerja, kondisi dan desain perlengkapan kerja, penataan ruang dan lingkungan fisik (penyinaran, temperatur, dan fentilasi)
2. Faktor sosial dan organisasi, meliputi: peraturan-peraturan organisasi, sifat organisasi, jenis latihan dan pengawasan, sistem upah dan lingkungan sosial.[16]
Sutemeister dalam Srimulyo mengemukakan pendapatnya, bahwa kinerja dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
1. Faktor Kemampuan
a. Pengetahuan : pendidikan, pengalaman, latihan dan minat
b. Ketrampilan : kecakapan dan kepribadian.
2. Faktor Motivasi
a. Kondisi sosial : organisasi formal dan informal, kepemimpinan dan
b. Serikat kerja kebutuhan individu : fisiologis, sosial dan egoistic
c. Kondisi fisik : lingkungan kerja. [17]
Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa banyak faktor dan variabel yang mempengaruhi kinerja guru. Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari dalam diri, dan juga dapat berasal dari luar atau faktor situasional. Disamping itu, kinerja dipengaruhi oleh motivasi dan kemampuan individu.
Endnotes :
[1]Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia (Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN, 2000), h. 415
[2]Malayu Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia,(Jakarta:Bina Aksara, 2000), h. 87
[3]Ibid, h. 89
[4]Ibid, h. 126
[5] Robert Bacal,.Performance Management. Terj.Surya Darma dan Yanuar Irawan. (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 86
[6]Ibid. h. 94
[7]Karen R. Seeker, dan Joe B. Wilson. Planning Succesful Employee Performance (terj. Ramelan).( Jakarta : PPM. 2000), h. 135
[8]Ronald T. C Boyd,.. Improving Teacher Evaluations; Practical Assessment, Research& Evaluation”. ERIC Digest , 1989, h. 84
[9]Wannef Jambak, Dicari Kepala madrasah yang Mampu Meningkatkan Mutu Pendidikan, dalam http://gurutapteng.wordpress.com/2007/03/04/dicari-kepala-sekolah-yang-mampu-meningkat-kan-mutu-pendidikan/, akses tanggal 3 Oktober 2007
[10]Muhammad Sholeh, Peran Kepala madrasah Dalam Pemberdayaan Guru, dalam http://www.duniaguru.com /index.php?option=com_content&task=view&id=329&Itemid=40
[11]Ibid.
[12]Sarah Cook and Steve Macaulay, “Empowered customer service”, dalam Training for Quality Journal, Vol. 4. edisi 1, 1996 h. 9
[13]Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, (Yogyakarta : Adicita, 1999), h. 98
[14]Muhammad As’ad, Op. Cit. h. 49
[15]Srimulyo, Op. Cit, h. 39
[16]Ibid, h. 40
[17]Ibid.
Sabtu, 17 Januari 2009
Kepemimpinan Kepala Madrasah
Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan pada dasarnya berarti kemampuan untuk memimpin; kemampuan untuk menentukan secara benar apa yang harus dikerjakan. Menurut Gibson, kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, yang dilakukan melalui hubungan interpersonal dan proses komunikasi untuk mencapai tujuan [i]. Newstrom & Davis berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses mengatur dan membantu orang lain agar bekerja dengan benar untuk mencapai tujuan[ii].
Sedangkan Stogdill berpendapat bahwa kepemimpinan juga merupakan proses mempengaruhi kegiatan kelompok, dengan maksud untuk mencapai tujuan dan prestasi kerja.[iii] Oleh karena itu, kepemimpinan dapat dipandang dari pengaruh interpersonal dengan memanfaatkan situasi dan pengarahan melalui suatu proses komunikasi ke arah tercapainya tujuan khusus atau tujuan lainnya. Pernyataan ini mengandung makna bahwa kepemimpinan terdiri dari dua hal yakni proses dan properti. Proses dari kepemimpinan adalah penggunaan pengaruh secara tidak memaksa, untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan kegiatan dari para anggota yang diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi. Properti dimaksudkan, bahwa kepemimpinan memiliki sekelompok kualitas dan atau karakteristik dari atribut-atribut yang dirasakan serta mampu mempengaruhi keberhasilan pegawai[iv].
Karol Kennedy sebagaimana dikutip oleh Mustopadijajamengemukakan perbedaan keduanya secara ekstrim dengan menyatakan bahwa :
“Leadership is about a sense of direction. The word lead comes from Anglo-Saxon word, common to north European languages, which means a road, a way, the path of a ship at sea. It’s knowing the next step is…… “Managing is a different image. It’s from the Latin manus, a hand. It’s handling a sword, a ship, a horse. It tends to be closely linked with the idea of machines. Managing had its origins in the 19th century with engineers and accountants coming in to run entrepreneurial outfits. They tended to think of them as systems”. [v]
Adair mendefinisikan kepemimpinan dalam tiga konsep “Task, Team, and Individual” dalam lingkaran saling terkait, sehingga merupakan satu kesatuan konsep ACL (Action-Centered Leadership); dan menyatakan “… leadership is about teamwork, creating teams. Teams tend to have leaders, leaders tend to create teams”[vi]. Adair berkeyakinan bahwa working groups atau teams akan memberikan tiga kontribusi pada pemenuhan kebutuhan bersama, berupa “the need to accomplish a common task, the need to be maintained as acohesive social unit or team, and the sum of the groups’s individual needs”; serta mengidentifikasi enam fungsi kepemimpinan berikut :
Planning (seeking all available information; defining groups tasks or goals; making a workable plan); ]
Initiating (briefing the group; allocating tasks; setting groups standards);
Controlling (maintaining groups standard; ensuring progress towards objectives; ‘prodding’ action sand decisions);
Supporting (expressing acceptance of individual contributions; encouraging and disciplining; creating team spirit; relieving tension with humour; reconciling disagreements);
Informing (clarifying task and plan; keeping group informed; receiving information from the group; summarizing ideas and suggestions); dan
Evaluating (checking feasibility of ideas; testing consequencies; evaluating group perfomance; helping group to evaluate itself).[vii]
Dalam pada itu Zwell mengidentifikasi sekurangnya 15 fungsi yang secara umum dilakukan oleh pemimpin, yaitu :
…modeling the corporate culture, developing the corporate philosophy, establishing and maintaining atandards, understanding the business, determining strategic direction, managing change, being agood follower : aligning with superior, inspiring and motivating, establishing elignment, establishing focus, holding ultimate responsibility, dealing with authority issues, determining successors, managing ambiguity, and optimizing orgaizational structure and process. [viii]
Dibalik fungsi-fungsi tersebut terdapat tugas dan peran kepemimpinan. Dalam hubungan itu, pada tahun 1990 John P. Kotter pada satu pihak mengidentifikasi tiga tugas prinsipil kepemimpinan, yaitu :
(1) Establishing direction, developing a vision and strategies for the future of the business;
(2) Aligning people - getting others to ‘understand, accept and line up in the chosen direction’, dan
(3) Motivating and inspiring people by appealing to very basic but often untapped human needs, value and emotions. [ix]
Pada lain pihak, ia pun mendefinisikan empat peran manajemen berikut,
Planning and budgeting, setting short-to medium-term targets;
Establishing steps to reach them and allocating resources;
Organizing and staffing, establishing an organizational structure to accomplish the plan, staffing the jobs; communicating the plan, delegating responsibility and establishing systems to monitor implementatio;
Controlling and problem solving, monitoring results, identifying problems and organizing to solve them.[x]
Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom. Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan. [xi]
Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga aliran teori berikut ini.
Teori Genetis (Keturunan). Inti dari teori menyatakan bahwa “Leader are born and nor made” (pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut aliran teori ini mengetengahkan pendapatnya bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang ditempatkan karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin, sesekali kelak ia akan timbul sebagai pemimpin. Berbicara mengenai takdir, secara filosofis pandangan ini tergolong pada pandangan fasilitas atau determinitis.
Teori Sosial. Jika teori pertama di atas adalah teori yang ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun merupakan ekstrim pada sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa “Leader are made and not born” (pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup.
Teori Ekologis. Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung kebenaran, maka sebagai reaksi terhadap kedua teori tersebut timbullah aliran teori ketiga. Teori yang disebut teori ekologis ini pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran. Namun demikian, penelitian yang jauh lebih mendalam masih diperlukan untuk dapat mengatakan secara pasti apa saja faktor yang menyebabkan timbulnya sosok pemimpin yang baik.
Selain pendapat-pendapat yang menyatakan tentang timbulnya gaya kepemimpinan tersebut, Hersey dan Blancharddalam Sutarto [xii] berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s)., yang dapat dinotasikan sebagai :
k = f (p, b, s).
Kepemimpinan sama dengan gabungan dari fungsi (f) pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi(s). Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin. Dengan bawahan yang tepat maka team kerja dapat bekerja secara maksimal. Sedangkan bila tidak dapat memiliki bawahan yang dapat diandalkan, pada akhirnya beban akan kembali ke pimpinan.
Adapun situasi (s) menurut Hersey dan Blanchard adalah suatu keadaan yang kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan. Hubungan antara ketiganya yang saling mendukung merupakan sinergi yang akan meningkatkan tingkat keberhasilan kepempimpinan mereka.
Dalam praktiknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa gaya kepemimpinan; di antaranya adalah sebagian berikut:
a. Gaya Otokratis.
Menurut Ngalim Purwanto kepemimpinan yang otokratis adalah pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota-anggota kelompoknya. Baginya memimpin adalah menggerakan dan memaksa kelompok. Kekuasaan pemimpin yang otokratis hanya dibatasi oleh undang-undang. Penafsirannya sebagai pemimpin tidak lain adalah menunjukan dan memberi perintah.[xiii] Pada gaya kepemimpinan ini keputusan mutlak ada pada tangan pemimpin, pemimpin mendikte tugas yang harus dikerjakan oleh bawahanya, dalam menilai bawahan bersifat subjektif dan karena langkah-langkah aktivitas dilakukan satu persatu oleh pemimpin maka langkah mendatang kadang tidak pasti.
Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri sebagai berikut: Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi; Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata; Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat; Terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya; Dalam tindakan pengge-rakkannya sering memperguna-kan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum.
Berdasarkan nilai tersebut, seorang pemimpin otokratik akan menunjukkan sikap yang menonjolkan keakuannya dalam bentuk:
Kecenderungan memperlakukan bawahan sama dengan alat lain dalam organisasi
Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas
Pengabaian peranan bawahan dalam proses pengambilan keputusan
Sikap pemimpin demikian akan menampakkan diri pada perilakunya dalam berinteraksi dengan bawahannya, misalnya tidak mau menerima saran dan pandangan bawahannya, menonjolkan kekuasaan formal. Dengan persepsi, nilai, sikap, dan perilaku demikian, seorang pemimpin yang otokratik dalam praktek akan menggunakan gaya kepemimpinan:
Menuntut ketaatan penuh bawahannya
Menegakkan disiplin dengan kaku
Memberikan perintah atau instruksi dengan keras
Menggunakan pendekatan punitip dalam hal bawahan melakukan penyimpangan.
b. Gaya Demokratis.
Pada umumnya, baik dikalangan ilmuwan, maupun praktisi manajemen terdapat kesepakatan bahwa gaya pemimpin yang ideal dan paling didambakan adalah pemimpin yang demokratik. Namun demikian pada umumnya pemimpin yang demokratik tidak selalu merupakan pemimpin yang efektif dalam kehidupan organisasional, karena ada kalanya dalam hal bertindak dan mengambil keputusan bisa terjadi keterlambatan, yang disebabkan sebagai konskuensi dari keterlibatan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan tersebut.
Pemimpin ini memandang dan menempatkan orang-orang yang dipimpinnya sebagai subyek yang memiliki kepribadian dengan berbagai aspeknya, seperti dirinya juga. Kemauan, kehendak, kemampuan, buah pikiran, pendapat kreatifitas, dan inisiatif yang berbeda-beda akan dihargai dan disalurkan secara wajar[xiv]. Yang menonjol dari pemimpin ini adalah dalam mengambil keputusan sangat mementingkan musyawarah, yang diwujudkan pada setiap jenjang dan di dalam unit masing-masing. Dia memandang peranan dirinya di dalam organisasi sebagai koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi, yang gilirannya sehingga organisasi bergerak sebagai totalitas.[xv]
Seorang pemimpin yang demokratik akan dihormati dan disegani, dan bukan ditakuti, tetapi karena perilakunya dalam kehidupan organisasional. Perilakunya mendorong para bawahannya untuk menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya. Pendek kata, dia menempatkan unsur manusia dalam organisasi pada posisi yang paling sentral, dan akan sangat bangga bila para bawahannya menunjukkan kemampuan kerja yang lebih tinggi atau lebih baik dari kempuannya sendiri.
Gaya kepemimpinan demokratis memimpin dengan pendekatan “people centered”, yang menurut Siagian biasanya mengejawantah dalam berbagai hal, sebagai berikut:
memandang bahwa betapapun besarnya sumber daya dan dana yang tersedia bagi organisasi, kesemuanya itu bagi dirinya tidak berarti apa-apa kecuali digunakan dan di amnfaatkan oleh manusia dalam organisasi demi kepentingan pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi;
dalam kehidupan organisasional tidak mungkin, tidak perlu dan bahkan tidak boleh semua kegiatan dilakukan sendiri oleh pimpinan dan oleh karenanya selalu mengusahakan adanya pendelegasian wewenang yang praktis dan realistik tanpa kehilangan kendali organisasional;
para bawahan dilibatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri melalui peran-sertanya dalam proses pengambilan keputusan;
kesungguhan yang nyata dalam memperlakukan para bawahan sebagai makhluk politik, makhluk ekonomi, makhkluk sosial dan sebagai individu dengan karakteristik dan jati diri yang khas, yang mempunyai kebutuhan yang sangat komplek. Mulai yang bersifat kebendaan, seperti sandang, pangan dan papan, serta meningkat kepada kebutuhan yang bersifat keamanan, kebutuhan sosial, dan kebutuhan pengakuan status hingga kepada kebutuhan yang bersifat mental spiritual; dan
berusaha memperoleh pengakuan yang tulus dari para bawahan atas kepemimpinan orang yang bersangkutan, yang didasarkan kepada pembuktian kemampuan memimpin organisasi dengan efektif, bukan sekedar karena kepemilikan wewenang formal yang melekat pada dirinya dengan berdasarkan pengangkatannya.[xvi]
Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa gaya kepemimpinan yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini terjadi karena tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut : dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya; senang menerima saran, pendapat, dan bahkan kritik dari bawahannya; selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam usaha mencapai tujuan; ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain; selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya; dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.
Secara implisit tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin tipe demokratis bukanlah hal yang mudah. Namun, karena pemimpin yang demikian adalah yang paling ideal, alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi seorang pemimpin yang demokratis. Pemimpin yang demokratis dapat secara bersama-sama bawahannya menuju keberhasilan bersama. Keberhasilan dalam kepemimpinan demokratis adalah keberhasilan pemimpin memberdayakan bawahannya.
c. Gaya Laissez Faire
Menurut Siagian gaya kepemimpinan ini bercirikan sebagai berikut:
pendelegasian wewenang terjadi secara ekstentif;
pengambilan keputusan diserahkan kepada para pejabat pimpinan yang lebih rendah dan kepada para petugas operasional, kecuali dalam hal-hal tertentu yang nyata-nyata menuntut keterlibatannya secara langsung;
status quo operasional tidak terganggu;
penumbuhan dan pengembangan kemampuan berfikir dan bertindak yang inovatif dan kreaktif diserahkan kepada para anggota organisasi yang bersangkutan sendiri; dan
sepanjang dan selama para anggota organisasi menunjukkan perilaku dan prestasi kerja yang memadai, intervensi pimpinan dalam perjalanan organisasi berada pada tingkat yang minimum.[xvii]
Dapat dikatakan bahwa persepsi seorang pemimpin yang laissez faire tentang peranannya sebagai seorang pemimpin berkisar pada pandangannya bahwa pada umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena para anggota organisasi terdiri dari orang orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran apa yang ingin dicapai, tugas apa yang ingin ditunaikan oleh masing-masing anggota dan seorang pimpinan tidak perlu terlalu sering melakukan intervensi dalam kehidupan organisasional. Pemimpin yang laissez faire menganggap bahwa anggotanya sudah mengetahui dan cukup dewasa untuk taat kepada peraturan yang berlaku, dan pemimpin tipe ini cenderung lebih memilih peran yang pasif dan membiarkan organisasi berjalan menurut temponya sendiri tanpa banyak mencampuri bagaimana organisasi harus dijalankan dan digerakkan.
Nilai-nilai yang dianut oleh seorang pemimpin yang laissez faire dalammenyelenggarakan fungsi-fungsi kepemimpinannya biasanya bertolak dari filsafat hidup bahwa manusia pada dasarnya memiliki rasa solidaritas dalam kehidupan bersama, mempunyai kesetiaan kepada sesama dan kepada organisasi, taat kepada norma-norma dan peraturan yang telah disepakati bersama, mempunyai rasa tanggung jawab yang besar terhadapa tugas yang harus diembannya.
Dengan sifat organisasional demikian oleh pimpinan yang memiliki kepemimpinan laissez faire, tidak ada lagi alasan yang kuat menganggap bawahan sebagai orang-orang yang tidak dewasa, tidak bertanggung jawab, tidak setia dan sebagainya. Demikianlah pandangan pemimpin yang laissez faire, nilai yang tepat antara atasan-bawahan adalah nilai yang didasarkan kepada saling mempercayai.
Pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan laissez faire dalam memimpin organisasi, dan para bawahannya biasanya adalah sikap yang permisif, dalam arti bahwa para anggota organisasi boleh saja bertindak sesuai dengan keyakinan dan hati nuraninya asal kepentingan bersama tetap terjaga dan tujuan organisasi tetap tercapai. Prakarsanya dalam menyusun struktur tugas para bawahan dapat dikatakan minim. Kepentingan dan kebutuhan para bawahan itu mendapat perhatian besar karena dengan terpeliharanya kepentingan dan terpuaskannya berbagai kebutuhan para bawahan itu, mereka akan dengan sendirinya berperilaku positif dalam kehidupan organisasi
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gaya Kepemimpinan
Dalam melaksanakan aktivitasnya bahwa pemimpin dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut sebagaimana dikemukakan oleh H. Jodeph Reitz yang dikutip Nanang Fattah, sebagai berikut :
Kepribadian (personality), pengalaman masa lalu dan harapan pemimpin, hal ini mencakup nilai-nilai, latar belakang dan pengalamannya akan mempengaruhi pilihan akan gaya kepemimpinan.
Harapan dan perilaku atasan.
Karakteristik, harapan dan perilaku bawahan mempengaruhi terhadap apa gaya kepemimpinan.
Kebutuhan tugas, setiap tugas bawahan juga akan mempengaruhi gaya pemimpin.
Iklim dan kebijakan organisasi mempengaruhi harapan dan perilaku bawahan.
Harapan dan perilaku rekan.[xviii]
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka jelaslah bahwa kesuksesan pemimpin dalam aktivitasnya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat menunjang untuk berhasilnya suatu kepemimpinan, oleh sebab itu suatu tujuan akan tercapai apabila terjadinya keharmonisan dalam hubungan atau interaksi yang baik antara atasan dengan bawahan, di samping dipengaruhi oleh latar belakang yang dimiliki pemimpin, seperti motivasi diri untuk berprestasi, kedewasaan dan keleluasaan dalam hubungan social dengan sikap-sikap hubungan manusiawi.
Selanjutnya peranan seorang pemimpin sebagaimana dikemukakan oleh M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut :
Sebagai pelaksana (executive)
Sebagai perencana (planner)
Sebagai seorangahli (expert)
Sebagai mewakili kelompok dalam tindakannya ke luar (external group representative)
Sebagai mengawasi hubungan antar anggota-anggota kelompok (controller of internal relationship)
Bertindak sebagai pemberi gambaran/pujian atau hukuman (purveyor of rewards and punishments)
Bentindak sebagai wasit dan penengah (arbitrator and mediator)
Merupakan bagian dari kelompok (exemplar)
Merupakan lambing dari pada kelompok (symbol of the group)
Pemegang tanggung jawab para anggota kelompoknya (surrogate for individual responsibility)
Sebagai pencipta/memiliki cita-cita (ideologist)
Bertindak sebagai seorang aya (father figure)
Sebagai kambing hitam (scape goat).[xix]
Berdasarkan dari peranan pemimpin tersebut, jelaslah bahwa dalam suatu kepemimpinan harus memiliki peranan-peranan yang dimaksud, di samping itu juga bahwa pemimpin memiliki tugas yang embannya, sebagaimana menurut M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut :
Menyelami kebutuhan-kebutuhan kelompok dan keinginan kelompoknya.
Dari keinginan itu dapat dipetiknya kehendak-kehendak yang realistis dan yang benar-benar dapat dicapai.
Meyakinkan kelompoknya mengenai apa-apa yang menjadi kehendak mereka, mana yang realistis dan mana yang sebenarnya merupakan khayalan.[xx]
Tugas pemimpin tersebut akan berhasil dengan baik apabila setiap pemimpin memahami akan tugas yang harus dilaksanaknya. Oleh sebab itu kepemimpinan akan tampak dalam proses di mana seseorang mengarahkan, membimbing, mempengaruhi dan atau menguasai pikiran-pikiran, perasaan-perasaan atau tingkah laku orang lain.
Untuk keberhasilan dalam pencapaian suatu tujuan diperlukan seorang pemimpian yang profesional, di mana ia memahami akan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin, serta melaksanakan peranannya sebagai seorang pemimpin. Di samping itu pemimpin harus menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan bawahan, sehingga terciptanya suasana kerja yang membuat bawahan merasa aman, tentram, dan memiliki suatu kebebsan dalam mengembangkan gagasannya dalam rangka tercapai tujuan bersama yang telah ditetapkan.
4. Kompetensi Kepemimpinan
Suatu persyaratan penting bagi efektivitas atau kesuksesan pemimpin (kepemimpinan) dan manajer (manajemen) dalam mengemban peran, tugas, fungsi, atau pun tanggung jawabnya masing-masing adalah kompetensi. Konsep mengenai kompetensi untuk pertamakalinya dipopulerkan oleh Boyatzis yang didefinisikan kompetensi sebagai “kemampuan yang dimiliki seseorang yang nampak pada sikapnya yang sesuai dengan kebutuhan kerja dalam parameter lingkungan organisasi dan memberikan hasil yang diinginkan”. Secara historis perkembangan kompetensi dapat dilihat dari beberapa definisi kompetensi terpilih dari waktu ke waktu yang dikembangkan oleh Burgoyne, Woodruffe, Spencer dan kawan-kawan, Furnham dan Murphy .[xxi]
Menurut Rotwell, kompetensi adalah an area of knowledge or skill that is critical for production ke outputs. Lebih lanjut Rotwell menuliskan bahwa competencies area internal capabilities that people brings to their job; capabilities which may be expressed in a broad, even infinite array of on the job behaviour. Spencer berpendapat, kompetensi adalah “… an undderlying characteristicof an individual that is causally related to criterion referenced effective and/or superior performance in ajob or situation”. Senada dengan itu Zwell berpendapat “Competencies can be defined as the enduring traits and characteristics that determine performance. Examples of competencies are initiative, influence, teamwork, innovation, and strategic thinking”. [xxii]
Beberapa pandangan di atas mengindikasikan bahwa kompetensi merupakan karakteristik atau kepribadian (traits) individual yang bersifat permanen yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Selain traits dari Spencer dan Zwell tersebut, terdapat karakteristik kompetensi lainnya, yatu berupa motives, self koncept, knowledge, dan skill. Menurut review Asropi, berbagai kompetensi tersebut mengandung makna sebagai berikut : Traits merunjuk pada ciri bawaan yang bersifat fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap berbagai situasi atau informasi. Motives adalah sesuatu yang selalu dipikirkan atau diinginkan seseorang, yang dapat mengarahkan, mendorong, atau menyebabkan orang melakukan suatu tindakan. Motivasi dapat mengarahkan seseorang untuk menetapkan tindakan-tindakan yang memastikan dirinya mencapai tujuan yang diharapkan. Self concept adalah sikap, nilai, atau citra yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri; yang memberikan keyakinan pada seseorang siapa dirinya. Knowledge adalah informasi yang dimilki seseorang dalam suatu bidang tertentu. Skill adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas tertentu, baik mental atau pun fisik. [xxiii]
Berbeda dengan keempat karakteristik kompetensi lainnya yang bersifat intention dalam diri individu, skill bersifat action. Menurut Spencer, skill menjelma sebagai perilaku yang di dalamnya terdapat motives, traits, self concept, dan knowledge[xxiv].
Dalam pada itu, menurut Spencer dan Kazanas terdapat kompetensi kepemimpinan secara umum yang dapat berlaku atau dipilah menurut jenjang, fungsi, atau bidang, yaitu kompetensi berupa : result orientation, influence, initiative, flexibility, concern for quality, technical expertise, analytical thinking, conceptual thinking, team work, service orientation, interpersonal awareness, relationship building, cross cultural sensitivity, strategic thinking, entrepreneurial orientation, building organizational commitment, dan empowering others, develiping others.[xxv] Kompetensi-kompetensi tersebut pada umumnya merupakan kompetensi jabatan manajerial yang diperlukan hampir dalam semua posisi manajerial.
Ke 18 kompetensi yang diidentifikasi Spencer dan Kazanas tersebut dapat diturunkan ke dalam jenjang kepemimpinan berikut : pimpinan puncak, pimpinan menengah, dan pimpinan pengendali operasi teknis (supervisor). Kompetensi pada pimpinan puncak adalah result (achievement) orientation, relationship building, initiative, influence, strategic thinking, building organizational commitment, entrepreneurial orientation, empowering others, developing others, dan felexibilty. Adapun kompetensi pada tingkat pimpinan menengah lebih berfokus pada influence, result (achievement) orientation, team work, analitycal thinking, initiative, empowering others, developing others, conceptual thingking, relationship building, service orientation, interpersomal awareness, cross cultural sensitivity, dan technical expertise. Sedangkan pada tingkatan supervisor kompetensi kepemimpinannya lebih befokus pada technical expertise, developing others, empowering others, interpersonal understanding, service orientation, building organzational commitment, concern for order, influence, felexibilty, relatiuonship building, result (achievement) orientation, team work, dan cross cultural sensitivity.[xxvi]
Dalam hubungan ini Kouzes dan Posner meyakini bahwa suatu kinerja yang memiliki kualitas unggul berupa barang atau pun jasa, hanya dapat dihasilkan oleh para pemimpin yang memiliki kualitas prima. Dikemukakan, kualitas kepemimpinan manajerial adalah suatu cara hidup yang dihasilkan dari "mutu pribadi total" ditambah "kendali mutu total" ditambah "mutu kepemimpinan". Berdasarkan penelitiannya, ditemukan bahwa terdapat 5 (lima) praktek mendasar pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan unggul, yaitu; (1) pemimpin yang menantang proses, (2) memberikan inspirasi wawasan bersama, (3) memungkinkan orang lain dapat bertindak dan berpartisipasi, (4) mampu menjadi penunjuk jalan, dan (5) memotivasi bawahan.[xxvii]
Adapun ciri khas manajer yang dikagumi sehingga para bawahan bersedia mengikuti perilakunya adalah, apabila manajer memiliki sifat jujur, memandang masa depan, memberikan inspirasi, dan memiliki kecakapan teknikal maupun manajerial. Sedangkan Burwash dalam hubungannya dengan kualitas kepemimpinan manajer mengemukakan, kunci dari kualitas kepemimpinan yang unggul adalah kepemimpinan yang memiliki paling tidak 8 sampai dengan 9 dari 25 kualitas kepemimpinan yang terbaik. [xxviii] Dinyatakan, pemimpin yang berkualitas tidak puas dengan "status quo" dan memiliki keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Beberapa kriteria kualitas kepemimpinan manajer yang baik antara lain, memiliki komitmen organisasional yang kuat, visionary, disiplin diri yang tinggi, tidak melakukan kesalahan yang sama, antusias, berwawasan luas, kemampuan komunikasi yang tinggi, manajemen waktu, mampu menangani setiap tekanan, mampu sebagai pendidik atau guru bagi bawahannya, empati, berpikir positif, memiliki dasar spiritual yang kuat, dan selalu siap melayani.
Dalam pada itu, Warren Bennis juga mengemukakan bahwa peran kepemimpinan adalah “empowering the collective effort of the organization toward meaningful goals” dengan indikator keberhasilan sebagai berikut : People feel important; Learning and competence are reinforced; People feel they part of the organization; dan Work is viewed as excisting, stimulating, and enjoyable.[xxix] Sementara itu, Soetjipto Wirosardjono menandai kualifikasi kepemimpinan berikut, “kepemimpinan yang kita kehendaki adalah kepemimpinan yang secara sejati memancarkan wibawa, karena memiliki komitmen, kredibilitas, dan integritas”. [xxx]
Sebelum itu, Bennis bersama Burt Nanus mengidentifikasi bentuk kompetensi kepemimpinan berupa “the ability to manage” dalam empat hal : attention (= vision), meaning (= communication), trust (= emotional glue), and self (= commitment, willingness to take risk). Kemudian pada tahun 1997, keempat konsep tersebut diubah menjadi the new rules of leradership berupa (a) Provide direction and meaning, a sense of purpose; (b) Generate and sustain trust, creating authentic relationships; (c) Display a bias towards action, risk taking and curiosity; dan (d) Are purveyors of hope, optimism and a psychological resilience that expects success. [xxxi]
Bagi Rossbeth Moss Kanter, dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin terasa kompleks dan akan berkembang semakin dinamik, diperlukan kompetensi kepemimpinan berupa conception yang tepat, competency yang cukup, connection yang luas, dan confidence. [xxxii]
Tokoh lainnya adalah Ken Shelton mengidentikasi kompetensi dalam nuansa lain., menurut hubungan pemimpin dan pengikut, dan jiwa kepemimpinan[xxxiii]. Dalam hubungan pemimpin dan pengikut, ia menekankan bagaimana keduanya sebaiknya berinterkasi. Fenomena ini menurut Pace memerlukan kualitas kepemimpinan yang tidak mementingkan diri sendiri. Selain itu, menurut Carleff pemimpin dan pengikut merupak dua sisi dari proses yang sama. Dalam hubungan jiwa kepemimpinan, sejumlah pengamat memasuki wilayah “spiritual”. Rangkaian kualitas lain yang mewarnainya antara lain adalah hati, jiwa, dan moral. Bardwick menyatakan bahwa kepemimpinan bukanlah masalah intelektual atau pengenalan, melainkan masalah emosional. Sedangkan Bell berpikiran bahwa pembimbing yang benar tidak selamanya merupakan mahluk rasional. Mereka seringkali adalah pencari nyala api.
Pemimpin memiliki tiga peran utamanya yakni peran interpersonal, peran pengolah informasi (information processing), serta peran pengambilan keputusan (decision making). Peran pertama meliputi meliputi peran figurehead (sebagai simbol dari organisasi), leader (berinteraksi dengan bawahan, memotivasi dan mengembangkannya), dan liaison (menjalin suatu hubungan kerja dan menangkap informasi untuk kepentingan organisasi). Sedangkan peran kedua terdiri dari tiga peran juga yakni monitor (memimpin rapat dengan bawahan, mengawasi publikasi perusahaan, atau berpartisipasi dalam suatu kepanitiaan), disseminator (menyampaikan infiormasi, nilai-nilai baru dan fakta kepada bawahan) serta spokesman (juru bicara atau memberikan informasi kepada orang-orang diluar organisasinya). Adapun peran ketiga terdiri dari empat peran yaitu entrepreneur (mendesain perubahan dan pengembangan dalam organisasi), disturbance handler (mampu mengatasi masalah terutama ketika organisasi sedang dalam keadaan menururn), resources allocator (mengawasi alokasi sumber daya manusia, materi, uang dan waktu dengan melakukan penjadualan, memprogram tugas-tugas bawahan, dan mengesahkan setiap keputusan), serta negotiator (melakukan perundingan dan tawar menawar).[xxxiv]
5. Kepemimpinan Kepala madrasah
Di antara pemimpin pendidikan yang bermacam-macam jenis dan tingkatannya, kepala madrasah merupakan pemimpin pendidikan yang sangat penting karena kepala madrasah berhubungan langsung dengan pelaksanaan program pendidikan di sekolah. Ketercapaian tujuan pendidikan sangat bergantung pada kecakapan dan kebijaksanaan kepala madrasah sebagai salah satu pemimpin pendidikan. Hal ini karena kepala madrasah merupakan seorang pejabat yang profesional dalam organisasi sekolah yang bertugas mengatur semua sumber organisasi dan bekerjasama dengan guru- guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kegiatan lembaga pendidikan sekolah di samping diatur oleh pemerintah, sesungguhnya sebagian besar ditentukan oleh aktivitas kepala madrasahnya. Menurut Pidarta, kepala madrasah merupakan kunci kesuksesan sekolah dalam mengadakan perubahan. [xxxv] Sehingga kegiatan meningkatkan dan memperbaiki program dan proses pembelajaran di sekolah sebagian besar terletak pada diri kepala madrasah itu sendiri. Pidarta menyatakan bahwa kepala madrasah memiliki peran dan tanggungjawab sebagai manajer pendidikan, pemimpin pendidikan, supervisor pendidikan dan administrator pendidikan.[xxxvi]
a. Manajer Sekolah
Kepala madrasah sebagai manajer di sekolah. Tugas manajer pendidikan adalah merencanakan sesuatu atau mencari strategi yang terbaik, mengorganisasi dan mengkoordinasi sumber-sumber pendidikan yang masih berserakan agar menyatu dalam melaksanakan pendidikan, dan mengadakan kontrol terhadap pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kepala madrasah memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan, karena atas perannya sebagai manajer di sekolah dituntut untuk mampu : (1) mengadakan prediksi masa depan sekolah, misalnya tentang kualitas yang diinginkan masyarakat, (2) melakukan inovasi dengan mengambil inisiatif dan kegiatan-kegiatan yang kreatif untuk kemajuan sekolah, (3) menciptakan strategi atau kebijakan untuk mensukseskan pikiran-pikiran yang inovatif tersebut, (4) menyusun perencanaan, baik perencanaan strategis maupun perencanaan operasional, (5) menemukan sumber-sumber pendidikan dan menyediakan fasilitas pendidikan, (6) melaku kan pengendalian atau kontrol terhadap pelaksanaan pendidikan dan hasilnya.
b. Pemimpin Sekolah
Menurut Lipoto peranan kepemimpinan kepala madrasah adalah sebagai: (1) figurehead (symbol); (2) leader (memimpin; (3) liason (antara); (4) monitor memonitor; (5) disseminator (menyebarkan) informasi; (6) spokesmen (juru bicara); (7) entrepreneur ( wiraswasta); (8) Disturbance handler ( menangani gangguan); (9) Resource allocator (pengumpul dana); (10) negotiator ( perunding)[xxxvii].Lebih lanjut Lipoto mengatakan bahwa sebagai pemimpin, maka kepala madrasah harus mampu menggerakkan orang lain agar secara sadar dan sukarela melaksanakan kewajibannya secara baik sesuai dengan apa yang diharapkan pimpinan dalam mencapai tujuan. Kepemimpinan kepala madrasah terutama ditujukan kepada para guru karena merekalah yang terlibat secara langsung dalam proses pendidikan. Namun demikian, kepemimpinan kepala madrasah juga ditujukan kepada para tenaga kependidikan lainnya serta siswa.
Hal senada dikatakan Wahjosumidjo peran kepala madrasah sebagai pemimpin sekolah memiliki tanggung jawab menggerakkan seluruh sumberdaya yang ada di sekolah sehingga melahirkan etos kerja dan produktivitas yang tinggi dalam mencapai tujuan. Hick, dalam Wahjosumido, berpendapat bahwa untuk dapat menjadi pemimpin sekolah yang baik, kepala madrasah harus : (1) adil, (2) mampu memberikan sugesti (suggesting), (3) mendukung tercapainya tujuan (supplying objectives), (4) mampu sebagai katalisator, (5) menciptakan rasa aman (providing security), (6) dapat menjadi wakil organisasi (representing), (7) mampu menjadi sumber inspirasi (inspiring), (8) bersedia menghargai (prising). [xxxviii]
Dalam pelaksanaannya, keberhasilan kepemimpinan kepala madrasah, sangat dipengaruhi hal-hal sebagai berikut: (1) Kepribadian yang kuat; kepala madrasah harus mengembangkan pribadi agar percaya diri, berani, bersemangat, murah hati, dan memiliki kepekaan sosial. (2) Memahami tujuan pendidikan dengan baik; pemahaman yang baik merupakan bekal utama kepala madrasah agar dapat menjelaskan kepada guru, staf dan pihak lain serta menemukan strategi yang tepat untuk mencapainya. (3) Pengetahuan yang luas; kepala madrasah harus memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas tentang bidang tugasnya maupun bidang yang lain yang terkait. (4) Keterampilan professional yang terkait dengan tugasnya sebagai kepala madrasah, yaitu: (a) keterampilan teknis, misalnya: teknis menyusun jadwal pelajaran, memimpin rapat. (b) keterampilan hubungan kemanusiaan, misalnya : bekerjasama dengan orang lain, memotivasi, guru dan staf (c) Keterampilan konseptual, misalnya mengembangkan konsep pengembangan sekolah, memperkirakan masalah yang akan muncul dan mencari pemecahannya.[xxxix]
Dalam masalah ini Wahjosumidjo berpendapat, bagi kepala madrasah yang ingin berhasil menggerakkan para guru/staf dan para siswa agar berperilaku dalam mencapai tujuan sekolah adalah: (1) menghindarkan diri dari sikap dan perbuatan yang bersifat memaksa atau bertindak keras terhadap guru, staf dan para siswa; (2) harus mampu melakukan perbuatan yang melahirkan kemauan untuk bekerja dengan penuh semangat dan percaya diri terhadap para guru, staf dan siswa, dengan cara meyakinkan dan membujuk. [xl] Meyakinkan (persuade) dilakukan dengan berusaha agar para guru, staf dan siswa percaya bahwa apa yang dilakukan adalah benar. Sedangkan membujuk (induce) adalah berusaha meyakinkan para guru, staf dan siswa bahwa apa yang dilakukan adalah benar. Pemimpin yang efektif selalu memanfaatkan kerjasama dengan para bawahan untuk mencapai cita-cita organisasi
Disamping itu menurut Mulyasa, kepala madrasah yang efektif adalah kepala madrasah yang; (1) mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar dan produktif; (2) dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan; (3) mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan; (4) berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah; (5) bekerja dengan tim manajemen; (6) berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.[xli]
c. Administrator Sekolah
Kepala madrasah sebagai administrator dalam lembaga pendidikan mempunyai tugas-tugas antara lain : melakukan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan terhadap bidang-bidang seperti ; kurikulum, kesiswaan, kantor, kepegawaian, perlengkapan, keuangan, dan perpustakaan. Jadi kepala madrasah harus mampu melakukan; (1) pengelolaan pengajaran; (2) pengelolaan kepegawaian; (3) pengelolaan kesiswaan; (4) pengelolaan sarana dan prasarana; (5) pengelolaan keuangan dan; (6) pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat.
d. Supervisor Sekolah
Supervisi merupakan kegiatan membina dan dengan membantu pertumbuhan agar setiap orang mengalami peningkatan pribadi dan profesinya. Menurut Sahertian, supervisi adalah usaha memberi layanan kepada guru-guru baik secara individual maupun secara berkelompok dalam usaha memperbaiki pengajaran dengan tujuan memberikan layanan dan bantuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang dilakukan guru di kelas. [xlii]
Supervisi merupakan pengembangan dan perbaikan situasi belajar mengajar yang pada akhirnya perkembangan siswa. Itu perbaikan situasi belajar mengajar bertujuan untuk : (1) menciptakan, memperbaiki, dan memelihara organisasi kelas agar siswa dapat mengembangkan minat, bakat, dan kemampuan secara optimal, (2) menyeleksi fasilitas belajar yang tepat dengan problem dan situasi kelas, (3) mengkoordinasikan kemauan siswa mencapai tujuan pendidikan, (4) meningkatkan moral siswa.
Lebih lanjut Ngalim Purwanto mengemukakan bahwa supervisi ialah suatu aktivitas pembinaan yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan sekolah maupun guru, oleh karena itu program supervisi harus dilakukan oleh supervisor yang memiliki pengetahuan dan keterampilan mengadakan hubungan antar individu dan ketrampilan teknis[xliii].
Supervisor di dalam tugasnya bukan saja mengandalkan pengalaman sebagai modal utama, tetapi harus diikuti atau diimbangi dengan jenjang pendidikan formal yang memadai. Beberapa paparan di atas dapat disimpulkan bahwa kepala madrasah merupakan penyelenggara pendidikan yang juga, yaitu : (1) menjadi manajer lembaga pendidikan, (2) menjadi pemimpin, (3) sebagai penggerak lembaga pendidikan, (4) sebagai supervisor atau pengawas, (5) sebagai pencipta iklim bekerja dan belajar yang kondusif.
Sesuai dengan peran dan tugas-tugas di atas, kepala madrasah sebagai manajer sekolah dituntut untuk dapat menciptakan manajemen sekolah yang efektif. Menurut Mantja, keefektifan manajemen pendidikan ditentukan oleh profesionalisme manajer pendidikan[xliv]. Adapun sebagai manajer terdepan kepala madrasah merupakan figur kunci dalam mendorong perkembangan dan kemajuan sekolah. Kepala madrasah tidak hanya meningkatkan tanggung jawab dan otoritasnya dalam program-program sekolah, kurikulum dan keputusan personil, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan akuntabilitas keberhasilan siswa dan programnya. Kepala madrasah harus pandai memimpin kelompok dan mampu melakukan pendelegasian tugas dan wewenang. Tidak semua pekerjaan harus dikerjakan sendiri oleh kepala madrasah, tetapi ia dapat memberikan sebagian wewenangnya kepada bawahannya yang layak diberi tugas tertentu.
Menurut Wohlstetter dan Mohrman[xlv] peran kepala madrasah dalam MBS adalah sebagai designer, motivator, fasilitator, dan liaison. Sebagai designer kepala madrasah harus membuat rencana dengan memberikan kesempatan untuk terciptanya diskusi-diskusi menyangkut isu-isu dan permasalahan di seputar sekolah dengan tim pengambil keputusan sekolah. Tentu saja dalam hal ini harus melibatkan berbagai komponen terkait secara demokratis.
[i]James L Gibson, , et . all., Organisasi Perilaku, Struktur, Proses, Alih bahasa : Djarkasih, (Jakarta : Erlangga, 1988), h. 334
[ii]Keith Davis, and John W. Newstrom. Human Behaviour at Work : Organizational Behaviour. (New York Mc. Graw-Hill Inc., 1985), h. 122
[iii]James L. Gibson, dkk,., Op. Cit, h. 342
[iv]Victor H. Vroom dan Jago, Arthur G. The New Leadership: Managing Participation in Organizations. Englewood Cliffs, (New Jersey: Prentice Halls, 1988). h. 34
[v]Mustopadidjaja, Beberapa dimensi dan Dinamika Kepemimpinan Abad 21, dalam aparaturnegara.bappenas.go.id/.../Pelayanan%20Publik/Dimensi%20&%20Dinamika%20KEPIM%20ABAD%2021.pdf, diakses 22 April 2008.
[vi]Ibid.
[vii]Ibid.
[viii]Michael Zwell, Creating a Culture of Competency, (New York, Wiley, 2000), h. 298
[ix]John P. Kotter, Leading Change. (Boston, MA: Harvard Business School Press 1996), h. 76
[x]Ibid, h. 124
[xi]Keith Davis, and John W. Newstrom, Op.Cit. h. 267
[xii]Sutarto, Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi ( Yogyakarta., Gadjah Mada University Press, 1991) h. 65
[xiii]Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991) h. 48
[xiv]Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 55
[xv]Sondang P. Siagian, Teori dan Praktek Kepemimpinan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), h. 40
[xvi]Ibid, h. 50
[xvii]Sondang P. Siagian, Op. Cit., h. 39-40
[xviii]Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 1996) h. 88.
[xix]M. Ngalim Purwanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta : Mutiara Sumber-Sumber Benih Kecerdasan, 1981) h. 37
[xx]Ibid, h. 38-39
[xxi]Mustopadidjaja, Op. Cit, h. 68
[xxii]Ibid., h. 73
[xxiii]http://elqorni.wordpress.com/2008/04/24/perkembangan-paradigma-kepemimpinan-gaya-tipologi-model-dan-teori-kepemimpinan/ diakses 2 Juli 2008
[xxiv]Ibid.
[xxv]Ibid.
[xxvi]Mustopadipraja, Op. Cit. h. 78
[xxvii]Ibid.
[xxviii]Ibid. h. 86
[xxix]Ibid.
[xxx]Soetjipto Wirosardjono, Dialog Dengan Kekuasaan, (Bandung : Mizan, 1993), h. 122
[xxxi]Warren G. Bennis, Burt Nanus, Leaders: Strategies for Taking Charge, (Colorado :Harper, 1985), h. 32
[xxxii]Mustopadipraja, Op. Cit. h. 87
[xxxiii]Ibid.
[xxxiv]www.geocities.com/triwidodowu/Bab3.rtf
[xxxv]Made Pidarta. Cara belajar di Universiti Negara Maju: Suatu studi kasus. (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), h. 75
[xxxvi]Made Pidarta, Landasan Kependidikan : Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, (Bandung : Rineka, 1997), h. 68
[xxxvii]Lipoto, Kepemimpinan Kepala madrasah, (Bandung : Tarsito, 1998),. h. 8
[xxxviii]Wahjosumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi, (Jakarta :Ghalia Indonesia,. 1987), h. 98
[xxxix]Departemen Pendidikan Nasional, Panduan KTSP, (Jakarta : Depdiknas, 2006) h. 345
[xl]Wahjosumidjo, Op. Cit., h. 129
[xli]Mulyasa, .. Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK. (Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya. 2004) h. 65
[xlii] Piet A.. Sahertian, Konsep dasar dan teknik supervisi pendidikan dalam rangka membangun sumberdaya manusia, (Jakarta: Rineka Cipta : 2000), h. 127
[xliii]Ngalim Purwanto, Supervisi Pendidikan. (Bandung. Remaja Rosda Karya. 1997), h. 34
[xliv]Willem Mantja, Manajemen Pendidikan dalam Era Reformasi (Malang : Universitas Negeri Malang, 2002), h. 87
[xlv] Wohlstetter, P., & Mohrman, S. A.. School-based management: Strategies for success [Online]. http://www.ed.gov/pubs/CPRE/fb2sbm.html akses tgl. 28 September 2007